Dari Monopoli Kolonialisme Ke Kedaulatan Ekonomi

Ekonomi & Bisnis

July 27, 2024

Jon Afrizal

Kantor De Javasche Bank (DJB) di Batavia. (credits: tropenmuseum)

BERMULA dari kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah pada abad ke-16. Sewaktu itu, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, telah beredar pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang. ​

Lalu, pada tahun 1602, terbentuklah maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie​ (VOC). Persekutuan dagang asal Belanda bertujuan untuk memonopoli perdagangan di Asia, terutama kawasan Hindia Timur.

Sementara di kawasan Hindia Barat, telah hadir Geoctroyeerde Westindische Compagnie (GWC).

VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, sekaligus merupakan perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham. Salah satu pemegang saham VOC terbesar adalah Isaac Le Maire, seorang pengusaha dan investor keturunan Yahudi dari Walonia, Belgia.

Sementara itu, mata uang Real Spanyol masuk ke Nusantara pada tahun 1603. Yang mengisyaratkan bahwa Spanyol juga telah melakukan aktifitas perdagangan di Nusantara.​​

Pada tahun yang sama, yakni tahun 1603, ​VOC yang telah satu tahun terbentuk mulai beraktifitas. Dengan tujuan utama untuk membuka perdagangan di Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi aktifitas perdagangan Portugis di Nusantara. Tapi, upaya VOC gagal.

Hampir satu abad setelah itu, untuk menunjang aktifitas VOC, didirikanlah Bank van Courant pada tahun 1746. Ini adalah bank pertama di Nusantara. Bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.

Selanjutnya, bank ini pun disempurnakan pada tahun 1752, dengan De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Pinjaman ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga​.​

Mengutip bi.go.id, karena Krisi keuangan, maka De Bank van Courant en Bank van Leening ditutup pada tahun 1818. Sepuluh tahun setelah itu, yakni tahun 1828, didirikan De Javasche Bank (DJB). Bank ini adalah cikal bakal Bank Indonesia.

Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi (hak-hak istimewa) kepada DJB untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melakukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.

Bank pemerintah kolonial Belanda ini pun melakukan ekspansi ke Asia pada tahun 1830. Bank ini menjadi bank sirkulasi pertama di Asia.

Tetapi Perang Jawa telah menguras kas negara. Untuk itu, pemerintah kolonial pun menerapkan cultuurstelsel (tanam paksa) di wilayah Hindia Belanda.

DJB digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari penerapan cultuurstelsel.

Meskipun, terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan pada cultuurstelsel, yang akhirnya mengundang polemik di negeri Belanda. Polemik ini dipicu dengan hadirnya novel Max Havelaar karya Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama: Multatuli.

Selanjutnya nanti, penolakan terhadap cultuurstelsel telah melahirkan Gerakan Politik Etis atau politik balas budi, pada tahun 1901. Akibat positif dari Gerakan Politik Etis, telah memunculkan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat.

DJB mulai melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda pada rentang tahun 1829 hingga 1870. Yakni di Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867).​​

Untuk menjamin dan menguatkan tugas dan fungsi DJB, maka pada tahun 1922 Pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet​.

Selanjutnya, ekspansi DJB semakin diperluas. Dengan dibukanya 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda pada rentang tahun 1870 hingga 1942. Yakni; Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), dan Madiun (1928).​

Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) dikeluarkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1870. Yang menandai masa liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda.

Melalui Agrarische Wet, pemerintah kolonial memperbolehkan pihak swasta untuk menanamkan modalnya pada sektor bisnis di Hindia Belanda. Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-komoditas perdagangan internasional di dunia.

Kekalahan Belanda pada tahun 1942 telah menyebabkan terciptanya pemerintahan Militer Jepang di eks Hindia Belanda. Akibatnya, DJB dilikuidasi. DJB digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).​

Pasca Proklamasi 1945, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) kembali mendirikan DJB. Dengan tujuan untuk mengacaukan ekonomi Republik Indonesia yang masih muda, DJB mencetak dan mengedarkan uang NICA. Uang keluaran DJB dikenal dengan sebutan “uang merah”.

Padahal, Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI). Ini sesuai dengan mandat yang tertulis dalam penjelasan pasal 23 UUD 45. Yakni, “Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-Undang”.

BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). ORI dikenal sebagai “uang putih”.​ Ini adalah langkah untuk menegakkan kedaulatan ekonomi.

Tetapi, keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia. Dan telah pula memunculkan currency war (peperangan mata uang).

Politik sangat erat kaitannya dengan ekonomi. Dan, politik dapat mengubah wajah perekonomian. Sebab kebijakan dan keputusan terkait ekonomi diambil oleh pemegang kekuatan politik.

Maka, setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu butir kesepakatan penting adalah ​pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda, dimana, kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS.

Maka, melalui KMB, DJB pun ditetapkan sebagai bank sirkulasi RIS.

Bahkan setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, tetapi DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.​

Mengutip J. Thomas Lindblad dari Leiden Uniersity, dekolonisasi ekonomi adalah drama yang menarik dan kompleks yang melibatkan politik dan aspirasi ideologis. Sehingga perlu diterjemahkan ke dalam kepentingan ekonomi nasional. Karakter bank sentral Indonesia tercermin dari namanya, kepemilikannya struktur, fungsi ekonomi dan puncak manajemen.

Sejak tahun 1951, telah muncul desakan dari komponen bangsa untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97 persen.​

Dan, pada tanggal 1 Juli 1953 pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang nomor 11 tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia. Undang-Undang ini secara resmi menggantikan DJB Wet tahun 1922.

Sejak tanggal itulah Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.​

Maka, sepeti yang dinyatakan oleh J. Thomas Lindblad, perubahan nama bank ini terfokus pada dua isu krusial. Pertama, posisi bank bank sentral yang berhadapan dengan pemerintah. Dan kedua, apakah bank sentral ini akan melanjutkan cabang kegiatan komersial yang telah ada.

Bank Indonesia yang berada di bawah pemerintah Indonesia diharap dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan usaha dari pengusaha pribumi Indonesia melalui pemberian kredit.*

avatar

Redaksi