“Maleisch Woorden­boek” Untuk Siapa?

Hak Asasi Manusia

July 20, 2024

Baginda Djamaloedin bin Moehammad Rasad

Suasana sebuah jalan di Jakarta tahun 1900. (credits: Universiteit Leiden)

Baginda Djamaloedin bin Moehammad Rasad tiba di Belanda tahun 1903 untuk belajar ilmu pertanian di Landbouwhogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) di Wageningen. Naskah ini diambil dari bukunya dengan judul “Buah Pikiran” yang diterbitkan oleh penerbit Belanda; Gravenhage: H. Luyendijk pada tahun 1910. Buku ini diterbitkan sesuai bahasa aslinya, yakni Bahasa Melayu. Seperti sebuah travelog, yang berisi pengalaman, perjalanan hati, moral dan spiritual dari mahasiswa pertama asal Kota Padang yang menuntut ilmu ke negri Belanda. Amira, melakukan penulisan ulang tanpa mengubah makna, dan merepublikasikan kembali untuk pembaca.

INSPECTEUR Ch. A. van Ophuijsen, pemimpin taman “Insulinde” ini, pada tahun 1902, telah menulis buku berjudul Maleisch Woorden­boek (: Buku Dialek Melayu).

Didalam buku itu telah dikumpulkan banyak kata dalam Bahasa Melayu dan banyak kata serapan, yang telah biasa digunakan didalam Bahasa Melayu.

Manfaat dari buku itu adalah sebagai tempat untuk mencari, bagaimana setiap kata harus dituturkan dan bagaimana aturan tulisannya dengan menggunakan abjad Belanda.

Sungguh, terbitnya buku itu adalah suatu kebaikan bagi banyak guru bumiputera di tanah Hindia Belanda ini. Sebab, dengan adanya buku ini, mereka dapat memahami tentang dialek dan hukum penulisan tiap-tiap kata-kata itu, yang wajib mereka ajarkan pada murid-muridnya.

Manfaat buku ini, bukan hanya bagi para guru saja, yang akrab dengan pembelajaran Bahasa melayu. Tetapi, juga, tanpa membedakan bangsa melayu, kulit kuning, dan bangsa-bangsa lainnya.

Agar semunya memakai satu aturan dalam berbahasa Melayu. Namun, terdapat persoalan lain, yang harus ditelaa’ah.

Kehadiran kitab ini, sepertinya, memberikan kesedihan mendalam bagi kami anak Melayu. Karena buku ini tidak memiliki dua syarat utama.

Yakni; buku Maleisch Woorden­boek, yang tertulis dengan huruf Arab, dan, arti dari kata-kata yang ada dalam buku Maleisch Woorden­boek itu, yang diterangkan dalam Bahasa Melayu.

Jadi, kedua buku yang saya maksud ini, adalah kewajiban siapa? Mengapa belum juga diterbitkan?

Sebab tak kurang banyak bangsa kulit putih yang selalu melakukan penelitian terhadap Bahasa Melayu. Begitu juga buku-buku tentang seluk-beluk bahasa Melayu.

Seperti yang ditulis oleh Dr. J. Pijnappel, Dr. J. J. de Hollander, H. C. Klinkert, J. L. van der Toorn, dan lainnya.

Namun, sayangnya, manfaat buku-buku itu hanya untuk bangsa Belanda saja, yang mengerti bahasa Belanda.

Apakah tidak ada orang-orang pintar ini yang berpikir untuk menulis buku tentang Bahasa Melayu yang juga dapat bermanfaat bagi bangsa Melayu? Mengapa?

Apakah buku sejenis ini dianggap tidak perlu? Karena, tentunya, tidak bermanfaat bagi bangsa kulit putih? Atau, menurut anda-anda orang kulit putih, bahwa kami “Si Melayu” sudah pasti paham akan arti kata-kata dalam bahasa kami? Sungguh, aku tidak mengerti.

Tentu saja, tidak mungkin rasanya, anak bumi putera bangsa Melayu melupakan jasa dan usaha Inspecteur Ch. A. van Ophuijsen yang telah menulis buku Maleisch Woorden­boek itu.

Karena, ku pikir, itu adalah suatu upaya untuk memuliakan Bahasa Melayu.

Sehingga, bukan hanya Tanah Melayu dan segala isinya yang diatur oleh bangsa kulit putih. Tetapi, bahasa pun juga diatur oleh bangsa kulit putih.

Kami; bangsa pribumi, seperti manusia yang sedang terbaring sakit, tak dapat bergerak, menyerah, dan mengikuti perintah tabib saja.

Meskipun, diantara mereka yang sakit itu, masih ada yang memiliki keinginan utnuk mencoba bergerak. Tetapi karena lemah dan tak bertenaga, maka ia tak kunjung bergerak.

Sehingga, seluruh teman-temanku, jangan menyerah. Jika karena ketiadaan itu semua, maka sebaiknya marilah kita ramai-ramai bersatu menyerukannya ke pada pemerintah Hindia Belanda. Sebab, jika kita bergerak sendiri-sendiri, pasti tak akan mugkin.

Jika, kita semua; bangsa Melayu, berprasangka baik bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah ibarat dukun penyembuh, maka tentunya keadaan akan berubah menjadi baik juga.

Tentunya pemerintah Hindia Belanda lebih paham. Bahwa, jika mereka yang sakit itu telah meninggal dunia, maka obat yang ada pada dukun itu pun tak berguna lagi bagi si sakit.*

avatar

Redaksi