Hak Publik Dalam RUU Penyiaran

Hak Asasi Manusia

May 27, 2024

Jon Afrizal

(credits : remit)

KOMUNIKASI di masa Orde Baru lebih dikenal dengan sebutan “Sambung Rasa”. Sebuah metodologi komunikasi terapan yang dikembangkan oleh Harmoko, Menteri Penerangan tiga periode berturut-turut, kala itu.

“Yang ingin saya kembangkan adalah menciptakan komunikasi sambung rasa antara lapisan masyarakat dengan pejabat,” kata Harmoko, mengutip Tirto.

Harmoko, melalui komunikasi “Sambung Rasa”, terkenal rajin memoles citra pemerintah agar telihat bagus lewat acara-acara yang diadakannya. Ia juga adalah juru penerangan yang baik bagi Soeharto.

Sebagai Menteri Penerangan, Harmoko telah mencetuskan gerakan Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan). Tujuannya adalah sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah.

Meskipun, terlihat “bertemu dan bicara”, tetapi secara implisit, seperti kata-kata yang kerap dikatakan Harmoko, adalah “Menurut petunjuk Bapak Presiden”. Sebuah prasa yang dikenal luas kala itu.

Sebagai petunjuk, maka, tidak ada lagi tanya-menanya. Yang ada, hanyalah: perintah. Sehingga, para petani dan nelayan diperintahkan untuk mengikuti arahan dari bapak presiden.

Kehumasan, mengutip komunikasipraktis, adalah seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik sehingga dapat memperdalam kepercayaan publik terhadap suatu individu atau organisasi. 

Inilah pola komunikasi yang diterapkan Orde Baru melalui “Sambung Rasa”. Komunikasa ala kehumasan.

Setelah keruntuhan Orde Baru melalui reformasi, maka Departemen Penerangan ditiadakan. Media; dimana televisi juga termasuk didalamnya, bergiat untuk menegakkan demokrasi melalui kebebasan pers.

Setahun setelah reformasi, terbitlah Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang ini mengatur tentang pers, baik itu kewajiban dan haknya dalam kehidupan bernegara.

Maka, pers adalah, mengutip Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, dengan pertimbangan, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sehingga pers mengedepankan hak-hak publik untuk mendapatkan informasi. Dan, pers bekerja atas nama publik. Dan, ini tentunya berbeda dengan kehumasan.

Seiring dengan jamannya, maka lahirlah Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran.

Penyiaran (: broadcasting), mengutip Britannica, adalah transmisi elektronik sinyal radio dan televisi yang ditujukan bagi masyarakat umum sebagai penerima, yang dibedakan dari sinyal pribadi yang ditujukan ke penerima tertentu.

Dalam bentuk yang paling umum, penyiaran dapat dilihat sebagai penyebaran sistematis terkait hiburan, informasi, program pendidikan, dan fitur-fitur lainnya untuk diterima secara simultan oleh khalayak yang tersebar dengan peralatan penerima yang sesuai. Siaran, mungkin hanya terdengar saja seperti di radio, atau visual atau kombinasi keduanya seperti di televisi.

Tetapi, ternyata, Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran harus didraft ulang. Mengutip openparliament, terdapat sejumlah isu krusial pada RUU ini.

Yakni, Undang-Undang tentang Penyiaran sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Serta, RUU Penyiaran merupakan RUU Penggantian dikarenakan dua hal yaitu sistem Penyiaran di Indonesia telah bermigrasi dari sistem penyiaran analog menjadi sistem penyiaran digital, sesuai amanat pasal 60A Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan hal ini mengubah lebih dari 50 persen pengaturan penyiaran dalam UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Lalu, pengaturan platform digital penyiaran dan penyelenggara platform digital penyiaran, dan penyesuaian pengaturan Lembaga Penyiaran dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kemudian, memperluas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku regulator penyiaran. Dan, penguatan kelembagaan Lembaga Penyiaran Publik.

Maka, pada tanggal 17 Januari 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah melaksanakan Rapat Pleno tentang Hasil Kajian Tim Ahli dalam rangka harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Penyiaran. Hasil rapat tersebut menyebutkan bahwa Baleg menugaskan kepada Pengusul RUU untuk memperbaiki draf RUU Penyiaran ke dalam format RUU Perubahan. Dengan demikian, tahap harmonisasi RUU Penyiaran masih akan berlangsung dan dibahas di Baleg DPR RI.

Waktu terus bergulir, dan kini, draft telah mendekati final.

Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso, menggutip BBC, mengatakan, rancangan revisi UU Penyiaran diajukan oleh DPR dan bukan oleh pemerintah. Sehingga, yang mengetahui secara komperhensif adalah DPRD, dan bukan pemerintah.

Namun, terdapat draft pasal lainnya dalam draf rancangan revisi UU Penyiaran yang dikritik oleh kalangan media.

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, mengatakan, DPRD RI tidak pernah berniat untuk mengecilkan peran pers melalui RUU penyiaran. Dan pihaknya berjanji untuk mengkaji ulang RUU Penyiaran.

“Draf RUU Penyiaran yang kini beredar di masyarakat masih berada dalam bentuk draf yang isinya tak sempurna serta multitafsir,” katanya, mengutip Tirto.

Pasal-pasal yang dianggap kalangan media sebagai tidak mendukung kebebasan pers pada RUU Penyiaran adalah pasal 50B ayat 2 butir c tentang pelarangan jurnalisme investigasi. Serta, pasal 25 ayat 1 huruf q, yang menyatakan bahwa KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

“Selama ini sengketa jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers,” tegas Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana.

Ada yang janggal. Dan, AJI meminta agar DPR menghapus pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran.

Ia juga mengatakan, pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi adalah sebuah pembungkaman terhadap pers. Semestinya, DPR menjadikan Undang-Undang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik.

“Tetapi, pada konsideran draft RUU Penyiaran sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” katanya.

RUU tentang Penyiaran pertama kali diusulkan menjadi Undang-Undang sejak periode DPR RI tahun 2009 hingga 2014 dan 2014 hingga 2019. Namun selalu gagal ditetapkan menjadi Undang-Undang. Setelah menjadi Undang Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, maka produk legislasi ini harus direvisi lagi.

Revisi ini dilatarbelakangi oleh perdebatan tentang migrasi digital penyiaran indonesia yang akan menggunakan single mux dan/atau multi mux. Namun, perdebatan ini telah usai ketika terbitnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengatur sistem penyiaran Indonesia menggunakan multi mux.

Ternyata, dari dua pasal itu saja, telah mengkerdilkan hak-hak publik untuk mendapatkan informasi yang baik dan lengkap. Bagaimana dengan pasal-pasal lainnnya dalam draft ini?*

avatar

Redaksi