AJI Jambi : Jangan Halangi Kerja Jurnalis
Hak Asasi Manusia
May 12, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
(credits : newsweek)
ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi menyesalkan tindakan menghalangi kerja jurnalis, yang dialami oleh Dimas Sanjaya (25), jurnalis sebuah media nasional. Ia dihalangi saat proses peliputan kasus yang ditangani kepolisian di Markas Polda Jambi, Rabu (8/5) malam. Kameranya ditutup paksa oleh seseorang ketika ia mengambil video dan wawancara.
“Tindakan yang menimpa Dimas telah mencederai kebebasan pers,” kata Ketua AJI Jambi, Suwandi, Sabtu (11/5).
Kemerdekaan pers, katanya, dijamin di negara demokrasi, seperti di Indonesia. Yakni pada pasal 28f UUD 1945 dan UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Pasal 2 UU Pers menyatakan bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Tindakan penghalangan kegiatan jurnalistik terhadap Dimas Sanjaya jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan kemerdekaan pers. Selain itu, tindakan intimidasi secara non-verbal yang dilakukan terhadap Dimas Sanjaya merupakan tindakan yang merusak citra demokrasi Indonesia, khususnya terkait perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Pers pasal 18 ayat (1), dan dapat dikenai sanksi IDR 500 juta.
Pasal itu berbunyi, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Sehingga, katanya, AJI Kota Jambi menyatakan sikap, yakni; mengecam tindakan intimidasi dan upaya menghalangi kerja jurnalistik saat meliput kasus dugaan pemalsuan dokumen kapal dan penggelapan dengan Afandi Susilo alias Ko Apex sebagai terlapor, dan mendesak agar pelaku meminta maaf secara langsung terhadap Dimas Sanjaya.
Selain itu, juga, mendorong semua pihak menghormati dan memberikan pelindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Jurnalis memiliki hak dan mendapatkan pelindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 UU Pers. Pelindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Serta, mendesak semua pihak termasuk pemerintah berhenti menghalang-halangi dan membatasi pertanyaan jurnalis yang berujung menghambat kegiatan jurnalistik.
Berdasarkan penuturan Dimas, awalnya, ia mendapatkan informasi bahwa Afandi Susilo alias Ko Apex (terlapor) diperiksa di Markas Polda Jambi sekitar pukul 21.00 WIB, Rabu (8/5). Ko Apex dimintai keterangan terkait kasus dugaan pemalsuan dokumen kapal dan penggelapan. Karena menurut Dimas ini penting diberitakan, ia bersama jurnalis lainnya berangkat ke kantor kepolisian itu pada pukul 22.00 WIB.
Sesampai di sana, Dimas menunggu di lobi gedung Markas Polda Jambi. Sekitar pukul 22.45 WIB, rombongan Ko Apex keluar dari ruangan lalu menuruni tangga.
Dimas langsung menyiapkan kamera. Ia merekam video momen rombongan Ko Apex berjalan di lobi.
Ko Apex terus berjalan dan mengabaikan para jurnalis. Ketika Dimas mengajukan pertanyaan sebagai proses wawancara, seorang pria berbaju putih, pengawal Ko Apex, menunjuk ke kuasa hukum. Seorang pria berkemeja motif kotak-kotak pun mengatakan demikian.
“Ke kuasa hukum saja,” kata pria berkemeja kotak-kotak.
“Ada kuasa hukumnya ya bang?” kata Dimas.
“Iya,” jawab pria itu sembari menggenggam ponsel Dimas.
Pria berkemeja kotak-kotak itu menutup paksa kamera ponsel Dimas. Para jurnalis dihalangi saat meliput kasus tersebut.
“Satu pengawalnya yang berbaju kemeja kotak-kotak langsung menggenggam handphone menutupi kamera. Langkah kami terhalangi saat mendekat. Sementara Ko Apex langsung buru-buru jalan ke arah mobilnya,” kata Dimas, Jumat (10/5).
Dimas kemudian mendekati kuasa hukum Ko Apex untuk wawancara. Namun, kuasa hukum ini malah tidak berkenan.
“Dia langsung berjalan meninggalkan Polda Jambi,” kata Dimas.
AJI Indonesia mencatat terdapat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023. Jumlah kasus kekerasan itu naik dibandingkan 2022 dengan 61 kasus dan 41 kasus pada 2021.
Puluhan kasus itu paling tinggi berupa teror dan intimidasi, yaitu mencapai 26 kasus. Kemudian kekerasan fisik berjumlah 18 kasus, serangan digital sebanyak 14 kasus, larangan liputan sebanyak 10 kasus, penghapusan hasil liputan tujuh kasus, perusakan atau perampasan alat kerja lima kasus, kekerasan seksual lima kasus, dan kriminalisasi maupun gugatan perdata empat kasus.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis kebanyakan ialah 36 aktor. Lalu, ada 29 pelaku kekerasan non-aktor. Namun, juga terdapat 24 pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang tidak dapat diidentifikasi terutama pada kasus serangan digital.*