Afirmasi Politik, Perempuan Dan Lingkungan

Resonansi

June 25, 2023

Maimunah Permata Hati Hasibuan*

PEREMPUAN dan lingkungan selalu dianggap sebagai hal yang terpisah dalam dunia politik. Sehingga akan selalu muncul pertanyaan, tentang, apakah benar penggambaran perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen itu telah mencerminkan kualitas dan nilai perubahan.

Keterwakilan perempuan yang diatur Peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan harus minimal 30 persen. Setidaknya satu kandidat perempuan kemudian ditempatkan untuk setiap tiga kandidat yang memungkinkan. Peraturan itu juga menegaskan, KPU tidak akan menerbitkan daftar calon definitif partai yang tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan di daerah pemilihan.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 mencatat jumlah petani perempuan di Indonesia sebanyak 8 juta lebih. Bahkan 40 persen dari semua aktivitas bertani di Indonesia dilakukan oleh perempuan.

Artinya, persoalan partisipasi perempuan dalam politik memungkinkan dukungan dan pembelaan mereka terhadap isu-isu kualitas hidup dan kesejahteraan yang membebani mereka.

Sayangnya, kompleksitas persoalan perempuan kurang mendapat perhatian dari partai politik sebagai wadah bagi perempuan politik untuk bekerja dan memperjuangkan hak-haknya. Ini terlihat dari kekhawatiran mayoritas partai politik terhadap tenggat waktu pencalonan calon anggota parlemen yang berujung sama, yakni sulitnya mencari kader perempuan untuk mencalonkan diri.

Menekan Rekrutmen

Perempuan adalah lebih dari setengah dari 230 juta penduduk perempuan Indonesia saat ini. Sehingga kepentingan dan kebutuhan perempuan harus lebih efektif mendapatkan perhatian dan agenda khusus dari partai politik melalui program rekrutmen dan pendidikan massal.

Kesulitan partai dalam merekrut calon perempuan lebih dimaknai sebagai kegagalan partai dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai wadah pendidikan dan pembaharuan politik. Yakni sebagai potret presentasi politik.

Paradigma Peran

Jika melihat persoalan ini dari perspektif ekofeminis, maka perempuan dan lingkungan memiliki hubungan khusus. Emma Foster menyebutkan bahwa ekofeminisme bukanlah hanya hubungan biologis antara perempuan dan lingkungan saja. Melainkan satu pengalaman umum dari penindasan dan eksploitasi di bawah patriarki dan kapitalisme.

Melalui perspektif ekofeminisme. lingkungan dilihat sebagai subjek perempuan dan subjek budaya. Sebagaimana hubungan patriarki antara perempuan dan laki-laki.

Maka, di sini, wacana politik masih dianggap wilayah yang tak tersentuh peran perempuan, hingga hari ini.

Komitmen banyak negara terhadap pembangunan lingkungan yang berkelanjutan telah menciptakan perspektif baru tentang ekofeminisme. Saat ini, perspektif ekofeminisme menikmati popularitas baru, tetapi juga terancam oleh perkembangan yang tidak seimbang.

Padahal, berdasarkan kehadiran perempuan dalam proses pengambilan keputusan lingkungan, degradasi lingkungan yang terus berlanjut, setidaknya dapat mengurangi ketidaksetaraan gender dalam institusi.

Keberadaan perempuan sebagai pengambil kebijakan lingkungan seharusnya menggarisbawahi pentingnya pemerintah mengambil tindakan politik untuk mengatasi kerusakan lingkungan jangka panjang. Sejauh ini, perbaikan lingkungan di Indonesia hanya menghasilkan solusi jangka pendek yang berbasis ekonomi dan teknologi.

Bagi perempuan, pemilu yang akan datang bukan soal menang dan mewakili saja. Tetapi mengurai masalah kekerasan dan ancaman bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi penuh di dunia politik.

Dalam daftar tahunan Komnas Perempuan yang diterbitkan pada awal Maret 2023, terdata sebanyak 11 pengaduan pada tahun 2022 tentang pengalaman kekerasan perempuan dalam konflik sumber daya alam dan jumlah yang sama dalam konflik di bidang pertanian. Lalu, jenis kekerasan ilegal yang dialami perempuan mengkhawatirkan aparat kepolisian dalam 18 kasus pidana. Bahkan, pengalaman kekerasan perempuan di negara tersebut meningkat hampir 80 persen (68 kasus) dibandingkan tahun 2021 (38 kasus).

Patut menjadi perhatian khusus, adalah tentang meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah negara. Karena negara yang seharusnya menjaga harkat dan martabat kemanusiaan warganya justru turut membahayakan nyawa warganya.

Artinya, perempuan khususnya berjuang melawan perusakan lingkungan, yang dihadapkan pada kekerasan dan ancaman dari berbagai sisi.

Bisnis, lembaga penegak hukum, dan pemerintah sering menghadapi tentangan dari perempuan sekaligus melindungi sumber kehidupan. Terkadang penolakan bahkan datang dari orang-orang terdekat. Di satu sisi mereka harus berjuang melawan rasa takut diancam oleh penguasa, di sisi lain melawan rasa takut akan kehancuran dan hilangnya mata pencaharian mereka.

Perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan berbasis gender dalam kehidupannya atau karena perannya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan lingkungan. Kekerasan seringkali ditargetkan secara fisik dan sangat traumatis, seperti pelecehan seksual langsung atau digital.

Itu belum cukup, kekerasan juga terjadi sebagai cara untuk membatasi partisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan. Misalnya, di banyak tempat posisi perempuan dalam struktur kepemilikan tanah sangat lemah karena mereka hanya berhak menggunakan tanah.

Padahal, perempuan paling dekat dengan hutan. Ketika laki-laki melepaskan hak komunalnya atas hutan, perempuan sebagai pencari nafkah utama keluarga kehilangan akses ke hutan yang menjadi sumber nafkah keluarga mereka.

Bentuk-bentuk diskriminasi yang disebabkan oleh ketidaksetaraan sistemik dan ketidakseimbangan kekuatan ini seharusnya membuat dunia politik kita bersikap untuk mengadopsi ekofenimisme.

*Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

avatar

Redaksi