Yang Tabu Di Jambi

Daulat

October 2, 2025

Jon Afrizal/Kota Jambi

Danau Sipin, Kota Jambi. (credits: Pemprov Jambi)

“lnduk undang tambang teliti

Titian teras bertanggo batu

Kaco gedang nan idak kabur

Tonggak nan idak dapat digoyangkan

Baju bejait nan dipakai

Jalan berambah nan ditempuh.” (Seloko Melayu Jambi)

KAMUS Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa “tabu” adalah pantangan dan larangan. Setiap daerah, memilliki tabu yang berbeda-beda, yang sesuai dengan nilai-nilai tradisi masing-masing. Termasuk pula di Jambi.

Dengan historis Orang Melayu, penduduk di Jambi menggunakan “Seloko” sebagai bentuk dari hukum adat yang tidak tertulis. Dapat saja dikatakan sebagai adat dan tradisi “bertutur” yang diwariskan turun temurun antar generasi.

Meskipun, harus diakui, bahwa “Seloko” lebih terpatron kepada budaya Islam. Walaupun, secara dinamis, Jambi sebagai wilayah dengan histori Melayu sejak lama, juga mendapat sentuhan budaya sebelumnya, dan juga alam lingkungannya.

Penggalan Seloko diawal tulisan ini adalah tentang bagaimana hukum adat kuat mengakar di tengah masyarakat Melayu Jambi.

Mengutip buku “Ungkapan Tradisonal Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jambi” terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan tahun 1984, Induk undang adalah ibu daripada segala hukum yang berlaku. Tambang teliti yakni segala hukum terikat kepada syarak atau hukum yang diajarkan oleh agama Islam yakni Alquran dan Hadis Nabi.

Kaco gedang nan idak kabur dimaksud agar penguasa dan penegak hukum hendaklah berbuat dan bekerja menurut kenyataan yang sebenarnya, seperti kondisi dimana setiap orang sedang melihat wajahnya di hadapan cermin.

Tonggak nan tidak dapat digoyangkan berarti sebagai penguasa atau penegak hukum ia tidak dapat diganggu sebab ia wajib berdiri bersama kebenaran. Baju bejait yang dipakai berarti bahwa seluruh lika-liku kehidupan tidak boleh ke luar dari ketentuan yang ada.

Jalan berambah yan ditempuh menjelaskan bahwa setiap perbuatan tidak boleh menyimpang daripada hukum yang ada.

Seloko, mengutip Kemendikbud, tidak hanya mengatur tentang pantangan dan larangan saja. Tapi juga tentang sanksi adat. Sebab, kaidah-kaidah budaya ini masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Jambi hingga hari ini.

Tugu Keris Kota Jambi, dilihat dari atas. (credits: Disparbud Kota Jambi)

Yang umum disebut tabu di Jambi adalah: tindakan yang bertentangan dengan norma adat dan nilai moral. Seperti; kekerasan seksual, perilaku tidak sopan dalam rumah tangga, dan, tindakan-tindakan yang melanggar pedoman agama Islam, yang menjadi landasan adat Melayu Jambi.

Sehingga, apapun yang bertentangan dengan ajaran Islam, dapat dikategorikan tabu menurut adat Jambi.

Seloko secara harfiah, mengandung pesan atau nasihat terkait moral dan etika. Juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial-kemasyarakatan, politik, dan, penjaga keserasian dengan alam.

Seloko adalah cara pandang masyarakat Melayu Jambi terhadap kehidupan. Yang juga bertujuan sebagai tuntunan dalam menghadapi kehidupan.

Ambek benih campaklah sarap (: ambil benihnya saja dan buanglah sampahnya), adalah satu budaya bertutur Seloko yang masih hidup hingga hari ini. Dan, juga terkait dengan tabu.

Seloko ini mengandung arti bahwa apapun yang kita lihat, dengar, baca, dan alami, selalu memiliki dua sisi: baik dan buruk. Sehingga, adat Melayu Jambi mengisyaratkan agar apapun yang buruk haruslah ditinggalkan, dan seleksilah yang baik saja.

Sama seperti ketika hendak bertanam padi, maka, yang bakal bertumbuh menjadi benih haruslah disisihkan untuk ditanam. Sedangkan yang tidak dapat bertumbuh menjadi benih adalah berkategori: sampah.

Meskipun, globalisasi melalui internet tidak dapat dipungkiri telah menyasar ke dusun-dusun, namun, Seloko dapat memberikan panduan bagaimana masyarakat Melayu Jambi tetap menjadi dan beridentitas Melayu Jambi. Itupun, dengan catatan: harus dilakukan.*

avatar

Redaksi