Segera Selesaikan Konflik Agraria Di Jambi

Lingkungan & Krisis Iklim

September 25, 2025

Anggito Asmor/Kota Jambi

Peringatan Hari Tani 2025 di Provinsi Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Bahwa setiap akhir bulan September, matahari melintasi garis khatulistiwa ke arah selatan. Musim labuh (turun ke sawah) hampir tiba. Rakyat tani perlu bergembira dan bersyukur kepada Tuhan karena akan menerima rahmat-Nya yang berupa hujan.” Soekarno

RATUSAN petani se-Provinsi Jambi memperingati Hari Tani Nasional, di pusat pemerintahan di Jalan Ahmad Yani, Telanaipura, Kota Jambi, Rabu (24/9). Mereka membawa 10 tuntutan, kepada DPRD Provinsi Jambi, dan meminta agar para wakil rakyat juga ikut menyeesaikan persoalan yang tengah dihadapi petani.

Para petani berasal dari Kabupaten Batanghari, Tebo, Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi dan Sarolangun.

Para petani, mengutip rilis dari Gerakan Rakyat Untuk Reforma Agraria, menuntut agar; Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional segera dibentuk, segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Reforma Agraria (RUU Reforma Agraria), menyelesaikan konflik agraria di seluruh sektor di Provinsi Jambi, dan, menghentikan perampasan tanah rakyat oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Juga, menghentikan intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan aparat terhadap petani, pejuang hak atas tanah, buruh dan mahasiswa, dan, segera melepaskan tanah garapan, kampung dan desa-desa dari klaim kawasan hutan, dan segera tetapkan menjadi objek reforma agrarian.

Pun termasuk, mengusut tuntas korupsi agraria di Jambi, dan menangkap dan mengadili mafia tanah, dan, mendesak Pemerintah Provinsi Jambi untuk meningkatkan ekonomi petani dan peternak dengan stabilitas harga dan ekonomi yang adil.

Selain itu, juga meningkatkan SDM penyuluh pertanian dan peternakan, dan, memastikan distribusi pupuk secara merata dan tepat sasaran.

Terakhir, mewujudkan keadilan ekologis dan menindak tegas perusahaan yang merusak lingkungan.

Hari Tani adalah penjelasan bersama tentang hak atas tanah dan sumber-sumber agraria bagi rakyat Indonesia. Seperti yang termaktub dalam Undang-Undang No.5/1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” (UUPA) yang adalah terjemahan langsung dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Peringatan Hari Tani 2025 di Provinsi Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Yang terjadi di Provinsi Jambi, eskalasi konflik agraria meningkat tajam akibat penguasaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan korporasi,” kata Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi, Fransdody Kusuma Negara, Rabu (24/9).

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2024 menyebutkan telah terjadi 10 letupan konflik agraria di Provinsi Jambi, pada tahun 2024. Konflik-konflik ini disebabkan oleh operasi perusahaan perkebunan yang menyebabkan 5 letupan, industri kehutanan sebanyak 4 kasus dan klaim aset militer sebanyak 1 kasus.

Namun, kebijakan pemerintah saat ini, dengan pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) justru menyebabkan konflik agraria.

Atas nama kebijakan ini, maka sebanyak 20.660 hektare tanah-tanah petani milik Anggota Serikat Tani Tebo (STT) di Desa Lubuk Mandarsah digusur oleh PT Wira Karya Sakti (WKS). Sebab, oleh PT WKS, tanah pertanian dan perkampungan ini dianggap sebagai penguasaan ilegal.

Padahal Desa Lubuk Mandarsah telah ditempati masyarakat sejak tahun 1813. Sementara,  PT WKS mengklaim dan menggusur tanah-tanah petani dengan berbekal Izin Kementrian Kehutanan No. 346-Menhut/2004.

Pun, cara yang sama juga terjadi di 16 lokasi lainnya, yang tersebar di Kabupaten Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Muaro Jambi dan Sarolangun.

Padahal, sudah seharusnya, yang ditertibkan adalah penguasaan lahan secara ilegal oleh pengusaha sawit, kayu dan tambang.

Pada Hari Tani 2025 ini, perwakilan petani telah bertemu dengan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Provisi Jambi M Hafiz dan Samsul Riduan. Terdapat sebanyak enam poin yang disepakati bersama.

Pertama, DPRD, Dinas Kehutanan, BPN dan Gerakan Rakyat untuk Reforma Agraria bersepakat dan berkomitmen akan mendorong pelepasan kawasan hutan dan ditetapkan menjadi Objek Reforma Agraria.

Kedua, tanah petani yang tergabung bersama Gerakan Rakyat untuk Reforma Agraria tidak akan diganggu. Ketiga, DPRD Provinsi Jambi menyurati secara Resmi Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria dan mendorong RUU Reforma Agraria ke pemerintah pusat.

Keempat, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Kelima, DPRD merekomendasikan kepada aparat penegak hukum agar tidak melakukan kriminalisasi pada warga petani yang terlibat dalam konflik lahan kehutanan dan perkebunan, dan menindak tegas mafia tanah di Provinsi Jambi.

Terakhir, DPRD Provinsi Jambi akan menindaklanjuti proses penyelesaian yang telah diterima melalui aspirasi Aliansi Petani Jambi melalui Forum: Rapat Dengan Pendapat, Kunjungan Lapangan, Konsultasi ke DPR RI, Konsultasi ke Kementerian Kehutanan, Konsultasi ke Kemnterian Pertanahan dan Konsultasi ke Satgas PKH RI.

Pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No.169/1963 tentang Hari Tani menegaskan bahwa perlu pula digerakkan agar daya kerja dan daya cipta para petani berkembang untuk mencapai produksi yang berlimpah-limpah, sebagai syarat mutlak mencapai masyarakat adil dan makmur.

Maka, seharusnya, penyelesaian konflik-konflik agraria kembali dilandaskan pada semangat UUPA.*

avatar

Redaksi