“Debalang Rimbo” Di-launching Hari Ini

Inovasi

August 28, 2025

Kidung Paramitha/Kota Jambi

Sampul buku “Debalang Rimbo”.

ORANG Batin Sembilan telah lama ada di hutan dataran rendah Sumatra, yakni di wilayah perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan. Entitas ini telah tercatat dalam laporan-laporan awal penjelajahan Bangsa Eropa di Sumatera Tengah tahun 1800-an.

Jon Afrizal, yang adalah jurnalis yang berkegiatan di hutan-hutan dan dusun-dusun di wilayah Sumatera Tengah, telah bersinggungan dan mereportase kehidupan Orang Batin Sembilan sejak awal tahun 2000 lalu. Yakni, ketika tempat hidup mereka diinisiasi sebagai Kawasan restorasi ekosistem pertama di Indonesia.

Persingungan dan reportase itu, yang kemudian dirangkum, ditulis ulang dan disesuaikan dengan menjadi sebuah buku.

“Ini adalah janji yang harus saya tepati,” kata Jon Afrizal.

Ia berkata, bahwa ia berjanji di dalam hati untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku tentnag Orang Batin Sembilan. Dan, hari ini, Kamis (28/9) di cafe HelloSapa, Kota Jambi, buku setebal 165 halaman ini di-launching.

Terdapat beberapa penanggap yang dihadirkan pada launching buku ini. Tentunya, orang-orang yang juga bersinggungan langsung dengan Orang Batin Sembilan.

Flyer acar bedah buku “Debalang Rimbo”.

Yakni; Fahrudin, pendamping Orang Batin Sembilan dari PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), M Zuhdi dari Cappa, yang adalah juga akademisi, Sukmareni dari KKI Warsi, dan Baya Zulhakim dari Setara.

Dan, diskusi tidak akan renyah, jika tidak menghadirkan Orang Batin Sembilan. Ada Yunani, Orang Batin Sembilan kelompok Simpang Macan Luar di wilayah Provinsi Jambi, dan Syafii, Orang Batin Sembilan yang mewakili wilayah Sumatera Selatan.

Buku ini, adalah, tentang bagaimana Orang Batin Sembilan hidup, sejak dulu hingga hari ini, atau bahkan esok hari. Yang meramu berbagai aspek kehidupan; sejak dari sosial hingga budaya dan perubahannya, yang tentunya dengan cara pandang jurnalis.

“Dengan beragam nilai budaya baru yang mempengaruhi lingkungan dan peradaban sosial dan budayanya, masyarakat Batin Sembilan di kemudian hari, meresponnya dengan beragam pola pula,” kata Fahrudin, pendamping dari PT Reki.

Proses akulturasi terjadi dengan masyarakat transmigrasi, dan berasimilasi dengan nilai-nilai baru dan membentuk kelompok masyarakat dengan nilai yang baru, ataupun ada yang responnya resisten atau menjauh dari pengaruh nilai budaya lain dan membuat zona batas.

PT Reki, menggusung tema, nilai, budaya konservasi, dan pandangan bahwa keberadaan hutan dataran rendah yang berada di beberapa Sub Daerah Aliran Sungai (sub DAS): Sungai Lalan, Sungai Meranti, Sungai Kapas ini adalah satu bagian tersisa yang dapat disebut dengan Hutan Harapan.

Ini adalah bentangan luas kawasan hutan pada masa lalu, yang diberikan kepercayaan oleh Kementerian Kehutanan sebagai entitas lembaga negara beserta perangkat aturannya.

Sehingga, bicara Orang Batin Sembilan, adalah juga bicara tentang konservasi. Tentang bagaimana setiap orang bergantung terhadap hutan.

Merusak hutan, tentu saja dapat menghilangkan satu entitas. Dan, ini adalah persoalan Climate Justice.*  

avatar

Redaksi