Cerita, Menurut Orang Melayu
Budaya & Seni
June 13, 2025
Jon Afrizal

Suasana di Sungai Batanghari, Kota Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
ORANG Melayu memiliki sebuah tradisi, yakni cerita. Dalam kasanah Melayu, cerita, kadang juga berarti: berbual dan ngota. Arti dari kata terakhir, mendekati arti: gossip.
Cerita, mengutip KBBI, adalah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal, karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang, kejadian dan sebagainya baik yang sungguh-sungguh terjadi maupun yang hanya rekaan belaka, lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dalam gambar hidup seperti: sandiwara, wayang, dan sebagainya, omong kosong, dan, dongengan yang tidak benar.
Namun, cerita dalam masyarakat Melayu, tetap mengandung “pesan”. Pesan yang akan terus menerus diingat, oleh anak cucunya, di kemudian hari.
Pesan, yang menurut Yulisma dalam bukunya berjudul “Struktur Sastra Lisan Daerah Jambi”, cerita dapat dikategorikan sebagai sastra lisan, yang berpengaruh kuat terhadap masyarakat. Sehingga memberikan pemikiran, dan juga membentuk norma sosial pada orang sejamannya, dan menjadi warisan bagi generasi berikutnya.
Adapun, sastra lisan daerah Jambi terdiri dari; puisi rakyat dan cerita rakyat (prosa). Bentuk dari puisi rakyat adalah; pantun, petatah-petitih, dan, mantra. Sedangkan bentuk dari prosa rakyat, yakni; mite, legende, dan, dongeng.
Sastra lisan, menurutnya, telah menjadi gambaran pemikiran masyarakat pemiliknya. Sebagai bentuk dari kepercayaan maupun pandangan hidup komunal.
Syed Othman Syed Omar dalam “Konsep Bercerita Dalam Masyarakat Melayu Dan Hubungannya Dengan Struktur” mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang menyebabkan timbulnya cerita-cerita pada masyarakat Melayu. Cerita-cerita itu berhubungan erat dengan kehidupan mereka.
Seperti faktor alam; flora dan fauna, bentang alam, dan iklim tropis, yang terkait dengan erat penghidupan masyarkat Melayu.

Gentala Arasy, Kota Jambi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Sehingga, katanya, pemikiran masyarakat Melayu yang tertuang dalam tradisi bercerita adalah hasil interaksi dengan alam di sekitar mereka. Bahkan, hingga, hadirnya Islam pada masyarakat Melayu.
Sejak dari kehidupan yang penuh dengan pergolakan, penindasan, feodalisme, dan, keinginan dan harapan.
Maka, untuk memahami susur kebangsawanan dan keagungannya, yang tercipta kemudian, adalah; Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Misa Melayu, Hikayat Kelantan dan Hikayat Patani.
Sedangkan, untuk “membesarkan hati” rakyat jelata, maka muncullah cerita pelipur lara dan jenaka. Cerita seperti; Pak Pandir, Pak Kaduk, Lebai Malang, Pak Belalang, dan, Si Luncai, yang mengandung unsur jenaka.
Dan, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indera Putera, Hikayat Si Kebayan, Hikayat Megat Gembang, Hikayat Raja Donan, Hikayat Malim Dewa, Hikayat Awang Sulung Merah Muda, Hikayat Malim Deman, Hikayat Bongsu Pinang Peribut, dan, Hikayat Anggun Cik Tunggal yang mengandung unsur pelipur lara.
Dari cerita rakyat Melayu, setiap orang yang mendengar cerita itu, atau bahkan, kini, membacanya, akan memahami sebuah konsep kehidupan: masyarakat Melayu.
Sehingga, cerita yang dimaksud di sini adalah folklore (: cerita rakyat).
Folklore yang menurut Alan Dundes, seorang folklorist America, dalam bukunya berjudul “Every Man His Way: Readings in Cultural Anthropology”, adalah tubuh dari budaya ekspresif yang dimiliki oleh sekelompok orang, budaya atau subkultur tertentu. Ini termasuk tradisi lisan, seperti; cerita, mitos, legenda, peribahasa, puisi, lelucon, dan tradisi lisan lainnya.
Maka, ini adalah pesan yang tersirat dari begitu banyak folklore yang dimiliki oleh Orang Melayu.
Sehingga, jika Orang Melayu melupakan cerita lisannya sendiri, maka ia akan hilang dari bumi. Lenyap, ditelan jaman, dan kalah dalam peradaban.*

