Memahami Ekosida; Sebuah Kejahatan Lingkungan

Lingkungan & Krisis Iklim

May 16, 2025

Jon Afrizal

Banjir di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, pada bulan Januari 2025. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

KEPUNAHAN spesies secara massal yang sedang berlangsung pada saat ini, biasa disebut dengan: ecoside (ekosida). Ini dikuatkan dengan pernyataan ahli lingkungan dari Amerika Serikat, Patrick Hossay. Ia berpendapat bahwa peradaban industri modern bersifat ekosida.

Pun, eksploitasi kapitalisme semakin memperburuk dampak perubahan iklim. Dan kemudian, telah menyebabkan kasus-kasus ekosida lanjutan.

Ecocide berasal dari gabungan dua kata. Yakni dari bahasa Yunani “oikos” yang berarti: rumah, dan, bahasa Latin “cadere” yang berarti: untuk membunuh.

Sehingga, ekosida adalah penghancuran lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Yang mengancam seluruh populasi manusia, yang bergantung pada sumber daya alam untuk menjaga ekosistem dan memastikan kemampuan mereka untuk mendukung generasi mendatang.

Ekosida yang terjadi pun dapat mengancam keberadaan budaya dan fisik masyarakat. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ekosida memiliki dimensi genosida.

Penghancuran lingkungan alam dapat mengakibatkan genosida budaya dengan mencegah orang mengikuti cara hidup tradisional mereka. Ini terutama berlaku untuk masyarakat adat.

Sebab, ekosida yang dihasilkan dari perubahan iklim dan ekstraksi sumber daya dapat menjadi pendorong utama genosida di seluruh dunia. Sehingga, beberapa ahli berpendapat bahwa ekosida dan genosida tidak dapat dipisahkan.

Selain itu, hubungan antara kapitalisme dan ekosida telah menjadi bahan diskusi rutin oleh para ahli.

Para ahli mendefinisikan bahwa ekosida adalah: tindakan melanggar hukum atau bandel yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada kemungkinan besar kerusakan parah atau jangka panjang terhadap lingkungan yang disebabkan oleh tindakan tersebut.

Ekosida disebabkan oleh banyak hal. Seperti; perang, polusi, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, dan, bencana industri.

Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Olof Palme ketika ia menuduh Amerika Serikat melakukan ekosida pada Konferensi PBB 1972 tentang Lingkungan Manusia.

Sebagai satu contoh kasus, adalah: Indonesia. Negara yang memiliki tingkat deforestasi tercepat di dunia.

Industri sawit (Elaeis guineensis), kerap dianggap sebagai penyebab deforestasi. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Riyou Tsujino dalalm penelitian berjudual “History of forest loss and degradation in Indonesia” menjelaskan bahwa pada tahun 2020, tutupan hutan di Indoneia adalah sekitar 49,1 persen dari luas daratan. Angka ini turun dari 87 persen pada tahun 1950.

Pada dekade 1970-an, dimana produksi kayu, berbagai jenis perkebunan dan pertanian, bertanggungjawab terhadap sebagian besar deforestasi yang terjadi di Indonesia.

Dan pada saat ini, industri sawit (Elaeis guineensis) telah mendorong terjadinya deforestasi. Yang juga telah menyebabkan dampak lingkungan dan perpindahan masyarakat setempat.

Deforestasi yang meluas, dan perusakan lingkungan lainnya yang terjadi di Indonesia, acapkali digambarkan oleh para akademisi sebagai: Ekosida.

Situasi telah membuat Indonesia menjadi “penghasil” gas rumah kaca berbasis hutan terbesar di dunia. Dan, kondisi ini pun mengancam kelangsungan hidup spesies asli dan endemik.

Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional, yang diadopsi pada tahun 1998, dan diterapkan pada 2002, hanya membuat ketentuan untuk kejahatan ekosida di masa perang saja.

Sementara ekosida di masa damai yang semula telah dimasukkan dalam Statuta Roma, namun dihapus, karena keberatan dari Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

Perbedaannya berasal dari keberatan kekuatan kolonial terhadap penyertaan genosida budaya. Yang selama negosiasi yang telah mengarah pada pembentukan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida (CPPCG) atau Konvensi Genosida, yang diadopsi pada tahun 1948, dan diberlakukan pada tahun 1951.

Kini, ekosida di masa perang telah dinyatakan sebagai hukum nasional di beberapa negara di Uni Eropa. Sedangkan ekosida di masa damai, saat ini kembali diusulkan untuk masuk dalam Statua Roma.*

avatar

Redaksi