Konflik Tenurial Tanpa Tanda Titik

Hak Asasi Manusia

February 27, 2025

Puja Kesuma/Kota Jambi

Warga Desa Merbau Kecamatan Mendahara Ulu Kabupaten Tanjungjabung Provinsi Jambi menuntut lahannya dikembalikan oleh PT EWF. (credits: AMPK)

KONFLIK tenurial di banyak wilayah di Provinsi Jambi, terus terjadi, dari tahun ke tahun. Sehingga, butuh keseriusan dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik lahan ini.

Aliansi Masyarakat Peduli Keadilan (AMPK) berdemonstrasi di Kantor PT Erasakti Wira Forestama (EWF) yang beralamat di Jalan WR Supratman nomor 75, Kota Jambi, dan juga di Mapolda Jambi, Rabu (26/2). Mereka meminta agar PT EWF mengembalikan lahan masyarakat seluas 72 hektar atas nama 45 KK yang telah digarap PT EWF untuk perkebunan sawit di Desa Merbau Kecamatan Mendahara Ulu Kabupaten Tanjungjabung.

Persoalan terjadi karena akan dilaksanakan Pola Kemitraan tanaman sawit di lahan masyarakat seluas 2.000 hektare yang berada di enam dusun di Desa Merbau, oleh PT Sawit Mas Perkasa (SMP). Sesuai Kesepakatan Perjanjian; dimana kayu diambil menjadi milik perusahaan dan kemudian perusahaan menanam kelapa sawit di lahan masyarakat.

Lalu, terbitlah Surat Keputusan (SK) Bupati Tanjungjabung Timur nomor: 390 tahun 2006, Tertanggal 16 Mei 2006 tentang “Izin Lokasi kepada PT Sawit Mas Perkasa (SMP) untuk keperluan pembangunan Kebun Kelapa Sawit Pola Kemitraan”. SK Bupati itu berlaku selama tiga tahun.

Seharusnya, 1 tahun sebelum habisnya masa Izin Lokasi berlaku, perusahaan wajib memohon perpanjangan izin. Namun, ini tidak dilakukan oleh PT SMP. Sehingga, izin PT. SMP dinyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Pada tahun yang sama Bupati Tanjungjabung Timur mengeluarkan SK nomor  389 tahun 2006 tanggal 16 Mei 2006 tentang “Menunjuk PT SMP sebagai Mitra Petani Kebun Plasma Perkebunan Kelapa Sawit di wilayah Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjungjabung Timur”. Dan lahirlah Kesepakatan bersama antara PT SMP dengan masyarakat Desa Merbau.

Namun pelaksanaan pembangunan kebun plasma tidak pernah terwujud seperti yang tercantum dalam keputusan Bupati itu. Malahan, pada tanggal 5 Maret 2012, PT SMP menjual lahan seluas 406 hektare kepada PT Indonusa Agromulia (IAM).

Pada jual beli itu, PT SMP mengakui bahwa lahan itu dibeli dari 44 orang masyarakat desa. Padahal, warga tidak pernah menjual, apalagi menerima uang dari PT SMP.

Kemudian, Pemkab Tanjungjabung Timur membentuk Tim IX untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat dan PT SMP. Tim IX mengeluarkanputusan, “Bahwa pembelian lahan oleh PT SMP kepada masyarakat diduga penuh dengan rekayasa dan adanya pemalsuan surat jual beli”.

Kesimpulan terakhir dari Tim IX terbit pada Rabu, 5 Desember 2012, yang menyatakan bahwa, “PT SMP secara yuridis tidak memiliki hak atas tanah atau lahan seluas 406 Hektar di Desa Merbau Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur.”

Bahkan, seorang warga desa dilaporkan oleh PT EWF ke Polres Tanjungjabung Timur, dan menjadi menjadi tersangka dalam perkara pelanggaran Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang “Perkebunan”.

Warga lima desa dari tiga kabupaten di Provinsi Jambi meminta Kanwil ATR/BPN Provinsi Jambi untuk menyelesaikan konflik lahan yang sedang mereka hadapi. (credits: Walhi Jambi)

Persoalan menjadi semakin bertele-tele saja.

Diantara proses itu, pada tanggal 30 Juli 2018, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tanjungjabung Timur menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik PT EWF, yakni Sertifikat Nomor: 00039 dengan luas 167,08 hektare, dan Sertifikat Nomor: 00041 dengan luas 203,21 hektare.

Sementara itu, penyelesaian konflik lahan yang dihadapi oleh warga dari lima desa di tiga kabupaten di Provinsi Jambi, yakni; Desa Pandan Sejahtera Kecamatan Geragai Kabupaten Tanjungjabung Timur, Desa Gambut Jaya Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi, dan Desa Mekar Sari, Desa Tebing Tinggi, dan Desa Rawa Mekar Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari pun menemui jalan buntu.

Setelah melakukan aksi menginap di Kantor Wilayah ATR/BPN Jambi selama tiga hari, dan pada hari ketiga, Rabu, 19 Februari 2025, perwakilan masyarakat pun beraudiensi dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Jambi, Humaidi.

Masyarakat Desa Gambut Jaya meminta pembatalan 105 persil sertifikat dengan luas total 250 hektare di areal pencadangan transmigrasi untuk 200 kepala keluarga (KK). Sedangkan warga Desa Pandan Sejahtera meminta pembatalan atau pengurangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Indonusa Argomulia (IAM) di atas areal pencadangan transmigrasi Desa Pandan Sejahtera seluas 24 hektare, yang dihuni oleh 24 KK.

Lalu, warga Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi meminta Kanwil BPN Provinsi Jambi untuk menunjukkan koordinat sertifikat masyarakat sesuai dengan sertifikat yang telah diterbitkan.

Namun, hasil audiensi itu tidak membuat konflik selesai. Sebab, warga yang merekam dalam ingatan, dan menyatakan bahwa audiensi kali ini berbeda dengan hasil audiensi sebelumnya.

Banyak warga yang terdampak konflik tenurial di Provinsi Jambi, hingga kini masih menunggu penyelesaian. Entah sampai kapan.*

avatar

Redaksi