Waspada “Proxy War”
Hak Asasi Manusia
September 19, 2024
Jon Afrizal
Sampul buku Proxy Wars. (credits: Eli Berman)
PERADABAN dunia semakin maju. Keinginan manusia dan kelompoknya untuk mendominasi dan mengintervensi kelompok lain melalui perang, pun telah menunjukan bentuk lain.
Strategi perang yang semakin berkembang. Dimana dinamika konflik domestik yang kompleks, secara tiba-tiba berubah menjadi besar; vertikal dan horizontal. Dan, pihak dari luar ikut campur tangan, meskipun tak terlihat.
Itulah metode perang era modern, yang biasa disebut Proxy War.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, adalah wujud dari Proxy War.
Dimana Amerika Serikat dan sekutu NATO (Organisasi Perjanjian Atlantik Utara) bertindak sebagai pendukung Ukraina. Mereka memasok negara itu dengan bantuan militer yang signifikan dan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Sementara China dan Iran bertindak sebagai pendukung Rusia.
Pun demikian halnya dengan Perang Saudara di Yaman, yang dimulai pada tahun 2014. Perang yang melibatkan bentrokan besar antara gerakan militan Houthi yang didukung oleh Iran dan pasukan pemerintah Yaman yang didukung oleh Arab Saudi dan sekutunya.
Proxy War, mengutip Britannica, adalah konflik militer yang terjadi antara dua atau lebih negara. Dimana pihak ketiga ikut serta, secara langsung atau tidak langsung mendukung satu atau lebih negara atau non-negara yang terlibat dalam upaya untuk mempengaruhi hasil konflik.
Sehingga memajukan kepentingan strategis piha ketiga, dan melemahkan kepentingan lawan mereka.
Kenyataannya, sepeti banyak konflik bersenjata yang terjadi pada abad ini, pihak ketiga dalam Proxy War tidak berpartisipasi dalam pertempuran yang sebenarnya, hingga batas yang signifikan, jika memang berpartisipasi.
Proxy War memungkinkan negara-negara besar untuk menghindari konfrontasi langsung satu sama lain pada saat mereka bersaing untuk mendapatkan pengaruh dan sumber daya.
Sarana dukungan langsung oleh pihak ketiga terdiri dari bantuan dan pelatihan militer, bantuan ekonomi, dan terkadang operasi militer terbatas dengan pasukan pengganti.
Sedangkan sarana dukungan tidak langsung mencakup blokade, sanksi, embargo perdagangan , dan strategi lain yang dirancang untuk menggagalkan ambisi saingan.
Strategi perang ini, tentu saja tidak serta merta terjadi. Proxy War tercatat digunakan pada saat Kekaisaran Bizantium (330–1453 Masehi) yang dengan sengaja telah memicu permusuhan antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam negara-negara yang bersaing.
Kemudian mendukung pihak yang terkuat ketika perang saudara pecah.
Begitu pula sikap Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia I. Kedua negaraa ini mendukung Pemberontakan Arab (1916–1918) melawan Kekaisaran Ottoman.
Perang Saudara Spanyol (1936–1939), dimana pasukan Republik yang didukung oleh Uni Soviet berperang melawan pasukan Nasionalis yang didukung oleh Nazi Jerman dan Italia Fasis.
Dengan catatan khusus, kala itu Jerman menggunakan perang saudara sebagai sarana untuk menguji teknologi senjata baru pada penduduk Spanyol.
Pertumbuhan persenjataan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah memunculkan persaingan ketat antara kedua negara. Dan menimbulkan momok bahwa konflik langsung akan menyebabkan kehancuran global.
Sehingga, mengutip dpr.go.id, kompleksitas dan sifat konflik rata-rata berdimensi sangat luas dan mendalam. Konflik yang semula bersifat domestik atau internal telah berubah menjadi sebuah Proxy War.
Tentunya, dengan melibatkan banyak pihak berkepentingan, yang sebenarnya berada di luar kawasan.
Nurwulansari dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa terminology Proxy War pada saat ini menjadi sangat luas. Terutama dengan melibatkan perang informasi yang bertujuan menciptakan konflik-konflik internal.
Proxy War yang lebih membahayakan adalah jika non state actor (pelakunya bukan negara) dan sering sulit diidentifikasi dengan caranya yang senyap.
Di dalam dunia intelijen dikenal cara-cara infiltrasi semacam operasi clandestine (gerakan bawah tanah). Cara-cara demikian bisa sangat mungkin digunakan oleh musuh-musuh negara untuk menyemai bibit-bibit Proxy War di masyarakat.
Teknologi komunikasi dan informasi modern, seperti media elektronik dan sosial media menjadi alat yang sangat ampuh untuk melakukan Proxy War.
Distribusi narasi pembentuk Proxy melalui jaringan internet dapat juga dikategorikan ke dalam Proxy War melaluin cyber mode.
Dimana media sosial telah menjadi bagian dari lifestyle sebagian masyarakat Indonesia. Yang bertujuan untuk membangun jejaring yang spesifik berdasarkan visi, hobi, gagasan, asal daerah, profesi dan lain-lain secara luas dan cepat tanpa sekat pembatas wilayah dan waktu.
Yang harus diwaspadai, adalah, mengutip indonesiabaik, bahwa Proxy War merupakan sebuah konfrontasi antar dua kekuatan besar dengan menggunakan “pemain pengganti” untuk menghindari konfrontasi secara langsung. Dengan alasan mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko kehancuran fatal.
Sehingga, antagonist dan protagonist tidak dapat terlihat. Juga tersamarkan siapa kawan dan siapa lawan.
Karena, dilakukan oleh non state actor. Meskipun, tetapi dikendalikan oleh sebuah negara.
Indonesia, dengan sumber daya alam-nya, tentu harus berhati-hati. Karena banyak negara yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia melalui pola Proxy War.
Terlebih, karena kesuburan tanah Indonesia, posisi geografis yang sangat strategis, serta memiliki kekayan alam hayati dan non hayati yang luar biasa.*