Menggagas Ekowisata di Restorasi Ekosistem

Lingkungan & Krisis Iklim

September 6, 2024

Jon Afrizal/Sungai Meranti, Musi Banyuasin

Sungai Meranti, Musi Banyuasin, hulu dari Sungai Musi. Kelompok hutan ini masuk ke dalam Hutan Harapan. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

RUSAKNYA kawasan hutan di dataran rendah bagian tengah Sumatera; yakni Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan, membuat banyak pihak peduli. Sehingga, terbentuklah sebuah konsorsium, yang terdiri dari beberapa non government organization (NGO) dalam dan luar negeri untuk memperbaiki kawasan di landscape ini, di awal tahun 2000-an lau.

Lalu, terciptalah areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia, yang biasa disebut dengan: Hutan Harapan, dengan luasan 98.555 hektare ini. Sebagai “harapan” untuk masa depan.

Sebab, jika hutan ini direstorasi dengan cara-cara yang tepat, maka kawasan yang rusak akan semakin baik, dan dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Terutama sekitar 1.000 orang indigenous people Batin Sembilan yang hidup bertempat tinggal di kawasan ini.  

Adapun kegiatan restorasi mencakup; pemulihan dan peningkatan. Yakni terhadap keanekaragaman tumbuhan ekosistem hutan alam, produktivitas hutan alam, kualitas habitat, khususnya habitat satwa kunci, keanekaragaman dan populasi satwa, khususnya populasi satwa kunci, fungsi hidrologis dan pengendalian erosi tanah.

Dengan demikian, kapasitas dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan pun diikutsertakan. Terdata sebanyak 100 orang community warden, yakni indigenous people Batin Sembilan yang dilatih dan diikutsertakan dalam penjagaan kawasan hutan.

“Sebab, ke depannya, tidak dapat dipungkiri bahwa hutan yang baik dapat memberikan peningkatan potensi ekonomi hutan,” kata TP Damanik, Manager Perlindungan Hutan PT Reki, selaku pengelola Hutan Harapan, baru-baru ini.

Seperti, katanya, ekowisata, penelitian, dan pendidikan.

Tentu saja, dengan banyak pihak yang sedari awal terlibat dalam inisiasi terciptanya Hutan Harapan ini, secara tidak langsung menjadi alat promosi “wisata minat khusus” ke banyak tempat di seluruh dunia. Sebab, promosi terbaik, harus diakui, adalah dari mulut ke mulut.

Jika kemudian seseorang dari luar negeri kemudian mendatangi partner PT Reki, dan meminta untuk berkunjung menikmati hutan yang mulai membaik, maka tidak ada salahnya untuk disambut. Sebab, dapat menjadi “Duta Wisata” bagi kawasan hutan, di dunia internasional.

Tentunya harus sesuai dengan prosedur, sejak dari kelengkapan passport, visa dan akomodasi.

Sebab, bagi masyarakat Eropa, hutan hujan di Sumatera adalah eksotik. Biodiversity yang menarik, dan juga si Raja Hutan panthera tigris yang kisahnya telah tersampaikan ke Eropa sejak Midden Sumatra Expeditie di dua abad lalu.

Danau yang berfungsi sebagai tangkapan air dan juga sebagai cadangan air, di wilayah Hutan Harapan di Desa Bungku, Batanghari. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

“Baru-baru ini, Hutan Harapan dikunjungi oleh dua orang WNA asal Jerman. Mereka berkunjung sejak tanggal 2 hingga 7 September 2024,” katanya.

Karena kunjungan itu adalah inisiatif mereka sendiri, maka seluruh pembiayaan ditanggung secara pribadi. Perjalanan wisata mereka pun akan berakhir di the last paradise in the world: Bali.

Namun, pihak PT Reki memastikan agar siapapun yang datang, haruslah lengkap secara administrasi. Sehingga, tidak tertahan di Imigrasi, yang membuat kunjungannya menjadi terganggu, atau malah terpaksa dipulangkan.

“Aturan-aturan administrasi haruslah lengkap, dan PT Reki akan memberitahu pihak Imigrasi setempat, bahwa ada orang yang akan berkunjung dengan tujuan sebagai wisatawan,” katanya.

Begitu juga, jika ada pihak yang akan melakukan penelitian. Sejauh ini, pihak PT Reki telah terbuka untuk menerima mahasiswa dari Univeristas Gadjah Mada, Padjajaran, Institut Pertanian Bogor, Unversitas Bengkulu dan Universitas Jambi.

Begitu juga dengan mahasiswa dari luar negeri. Tentunya, sama seperti tadi, memiliki kelengkapan administrasi.  

Sebab, harus diakui, tidaklah sanggup untuk memperbaiki dan mengelola kawasan hutan seorang diri saja. Semakin banyak pihak yang terlibat dari pengelolaan hutan ini, akan semakin baik.

“Kami, selalu terbuka menerima mereka yang satu visi,” katanya.

Amanat dari Peraturan Menteri Kehutanan nomor SK.159/Menhut-II/2004 menyebutkan bahwa kegiatan restorasi ekosistem dapat dilakukan di kawasan Hutan Produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).

Sehingga, untuk mengelola kawasan hutan eks logging ini, sesuai aturannya, dibentuklah PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki). Dan, tentunya, tidak sama tujuannya dengan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seperti di masa lalu.

Jika HPH menebang tegakan demi tegakan pohon di areal konsesinya, maka yang dilakukan di areal restorasi ekosistem ini justru sebaliknya: memperbaiki yang telah dirusak.

Adalah baik untuk berkunjung ke hutan ini, anggap saja berwisata. Sebab, telah ada camping ground di sana.

Sambil menikmati udara bersih, hujan yang sesekali turun sebagai pertanda hutan hujan yang telah membaik, dan, bertemu dengan para penjaga batas Kesultanan Jambi dan Palembang, yakni suku Batin Sembilan.

Termasuk juga melihat flora dan fauna.

Dan yang terpenting juga, melihat kesungguhan para staf di lapangan untuk menjaga hutan. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) mereka adalah untuk memastikan agar udara bersih dan pasokan air dari hutan ini selalu tersedia untuk masyarakat di wilayah-wilayah perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Pekerjaan yang sulit, tapi dengan tujuan mulia. Dan, jujur saja, tidak banyak orang yang berpikir untuk itu.*

avatar

Redaksi