Di Jalan Solo Di “De Schoonste Stad van Midden-Java”

Lifestyle

August 21, 2024

Jon Afrizal/Salatiga

Patung Jenderal Sudirman di Bundaran Tamansari, Kota Salatiga. Patung ini diresmikan pada Kamis (17/3) tahun 2011. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

SALATIGA, adalah tempat ditandatanganinya perjanjian yang menjadi dasar hukum berdirinya Kadipaten Mangkunagaran, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni pada tahun 1757. Perjanjian itu; adalah perjanjian yang dilakukan antara pihak Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said (kelak menjadi K.G.P.A.A. Mangkunegara I), dengan pihak Kasunanan Surakarta dan VOC.

Kadipaten Mangkunagaran (Praja Mangkunegaran) adalah sebuah monarki kadipaten otonom di Pulau Jawa bagian tengah. Kadipaten Mangkunagaran pernah menjadi negara vasal dependen dari Hindia Belanda.

Yakni sebuah “negara boneka”, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan negara Belanda, secara internasional. Jika negara itu berada dalam bahaya dan diserang negara lain, maka negara “pelindung”, yakni Belanda, akan membantu negara itu.

Berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266, mulai 1 Juli 1917 didirikan Stadsgemeente Salatiga yang daerahnya terdiri dari delapan desa. Ini pula, yang menjadi rujukan terbentuknya Kota Salatiga saat ini.

Salatiga, adalah wilayah yang strategis. Kota ini berada pada persilangan jalan raya dari enam jurusan. Yakni; Semarang, Bringin, Sragen, Surakarta, Magelang, dan Ambarawa.

Kota ini berada pada ketinggian antara 450 hingga 825 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Sesungguhnya, Salatiga berada di daerah cekungan atau lereng kaki gunung-gunung, dengan tingkat kemiringan wilayah berkisar antara 5 dejat hingga 10 derajat.

Yakni Gunung Merbabu dan gunung-gunung lainnya, seperti; Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran, Gunung Payung, dan Gunung Rong.

Wilayah cekungan gunung-gunung ini menyebabkan Salatiga beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata antara 23 hingga 24 derajat Celcius.

Kombinasi dari faktor geografis ini, membuat Salatiga dijuluki De Schoonste Stad van Midden-Java (: Kota Terindah di Jawa Tengah) pada masa Hindia Belanda.

Berdasarkan sejarah ini, wajar saja, jika “masa lalu” Salatiga seolah tak lekang dari ingatan para penduduk, terutama yang berusia lanjut. Seperti penamaan jalan, misalnya.

Terutama Jalan Jenderal Sudirman, yang menjadi jalan utama di pusat kota. Jalan ini, pada era Hindia Belanda dikenal dengan Solosche weg (Jalan Solo).

Pasar Gedangan, Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang, sekitar 17 menit dari Kota Salatiga melewati Jalan Imam Bonjol. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Sementara Banjoebiroesche weg (Jalan Banjoebiroe) telah berubah nama menjadi Jalan lmam Bonjol, sekarang. Begitu juga dengan Bringinsche weg (Jalan Bringin) berganti nama menjadi Jalan Patimura.

Serta Toentangsche weg (Jalan Toentang) menjadi Jalan Diponegoro. Perubahan nama itu, secara resmi menjadi Bahasa Indonesia, terjadi setelah Indonesia merdeka.

Saat ini, Salatiga terdiri atas empat kecamatan, dan 23 kelurahan. Dengan jumlah penduduk menurut BPS, sebanyak 193.525 jiwa pada tahun 2021.

Mengutip situs resmi Pemkot Salatiga, asal-usul Salatiga, berasal Prasasti Plumpungan. Yang kemudian menjadi dasar penetapan Hari Jadi Kota Salatiga.

Prasasti Plumpungan berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Maka Salatiga telah ada sejak tahun 750 Masehi, yang ada pada saat itu merupakan wilayah Perdikan. Perdikan memiliki arti bahwa suatu daerah dalam kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu.

Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan (swatantra) bagi suatu daerah yang ketika itu bernama Hampra; yang kini bernama Salatiga. Prasasti yang diperkirakan dibuat pada hari Jumat tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.

Prasasti ini ditulis oleh seorang Citraleka (pujangga), dan dibantu oleh beberapa orang resi (pendeta). Pada prasasti itu bertulis tulisan dalam bahasa Jawa kuno.

Yakni “Srir Astu Swasti Prajabyah”. Dengan arti: Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian“.

Berdasarkan prasasti ini, kemudian Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan. Yakni tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi, yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II nomor 15 tahun 1995 tentang “Hari Jadi Kota Salatiga”.*

avatar

Redaksi