Musisi Jazz Yang Jadi Incaran Polisi Belanda

Hak Asasi Manusia

August 17, 2024

Jon Afrizal

WR Soepratman (nomor 3 dari kiri) ketika berusia 17 tahun, ketika bergabung dengan grup band jazz “Black and White Jazz Band” di Makassar, sekitar tahun 1924. (credits: Museum WR Soepratman)

“Berhubung dengan kebiasaan untuk berdiri manakala lagu itu dimainkan atau dinyanyikan, maka pemerintah Belanda menganggap perlu untuk mengirim satu edaran kepada dunia kepegawaian, dimana ditentukan peraturan, sikap apa yang harus diambil oleh pegawai terhadap lagu Indonesia Raya”. (Edaran Gubernur Jenderal Jhr. De Graeff, tahun 1928).

MUSIK Jazz, pada tahun 1920-an sedang digandrungi dunia barat, bahkan, juga disebut sebagai Jazz Decade. Termasuk juga para serdadu Belanda di Indonesia.

Rudolf, adalah seorang pemain biola. Ia ikut serta dalam sebuah grup band beraliran musik jazz di Makassar pada tahun 1924, dengan nama “Black and White Jazz Band”. Pergaulannya, juga membuat ia dapat mengisi di club-club tempat serdadu dan petinggi Belanda bersenang-senang mencari hiburan.

Tetapi, tidak  ada yang menyangka, bahwa laki-laki penggesek biola yang berusia 17 tahun itu nantinya akan menjadi buronan yang paling dicari oleh polisi Belanda. Karena, lagu ciptaannya telah membakar semangat pribumi untuk merdeka.

Lilis Nihwan dalam buku “W.R. Supratman, Guru Bangsa Indonesia” menuliskan bahwa alunan nada dari lagu instrumen yang keluar dari gesekan biola W.R. Supratman pada acara Kongres Sumpah Pemuda II, pada tanggal 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesiche Club, Jalan Kramat 106 Jakarta telah membuat anak-anak muda pribumi yang hadir di gedung itu bernyanyi dengan hati, pikiran, dan, kemudian tindakan untuk sebuah cita-cita bersama persatuan dan kesatuan menuju Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Saat itu, adalah kali pertama lagu Indonesia Raya diperdengarkan secara resmi pada sebuah acara di perkumpulan kebangsaan. Meskipun, secara lirik telah dibuat, namun, mengingat keamanan, lagu ini hanya diperdengarkan secara instrumental saja.

Rudolf ada nama sematan, ketika Wage memilih untuk berpindah ke Makassar mengikuti kakak tertua, Rukiyem, bersama suaminya, W.M. van Eldik. yang bertugas sebagai instruktur Batalion XIX.

Sastromiharjo, adalah nama asli W.M. van Eldik, dan ia adalah asli Indonesia. Saat itu, Wage Supratmaan menyandang status anak angkat dari pasangan itu.

Untuk kelengkapan administrasi pendaftaran Euoropeesche Lagere School (ELS) atau  sekolah dasar Belanda, maka ditambahkan ”Rudolf” ditengah namanya.

Selanjutnya, ia dikenal dengan WR Supratman, sang pencipta lagu Indonesia Raya. W.R. Supratman tamat dari ELS pada tahun 1917.

Dan, sejak tanggal 28 Oktober 1928 itu, WR Supratman harus terus menerus menghindar dari polisi rahasia pemerintah Belanda. Sejak saat itu pula, lagu Indoensia Raya dinyatakan terlarang.

Sin Po, sebuah surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, dengan berani telah memuat teks-teks Indonesia Raya di edisi November 1928.

Perang telah dimulai, dan semangat untuk berjuang itu diberikan oleh WR Supratman lewat instrument biola dan lirik lagu Indonesia Raya.

WR Supratman lahir di Dukuh Trembelang, Desa Somogiri, Kecamatan Kaligeseng, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah pada tanggal 19 Maret 1903. Ia adalah anak dari pasangan Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang tentara KNIL Belanda dan Siti Senen.

Saat ibunya meninggal dunia, dan ayahnya menikah lagi, ia berpindah ke Makassar. Sewaktu itu, umurnya sekitar 16 tahun.

W.R. Supratman pintar memainkan musik klasik karya-karya Chopin, Beethoven, Liszt, dan Tschaikovsky. Dengan bekal itu, ia tergabung dengan grup musik Black White Jazz Band . Grup band ini dibentuk oleh W.M. van Eldik.

Di Makassar, ia juga menjadi wartawan di koran Pemberita Makassar dan Pelita Rakyat (Makassar). Ia juga tercatat pernah menjadi guru.

Selanjutnya, ia kembali menjadi wartawan Kaum Muda, Kaum Kita (Bandung), dan Sin Po (Jakarta) setelah berpindah ke Jakarta dan sekitarnya, di kitaran tahun 1926.

Polisi rahasia Belanda terus mengejar WR Supratman. Namun, ia tetap berkarya, dengan lagu Matahari Tebit yang semakin meningkatkan darah juang pribumi untuk merdeka.

Tapi, pengejaran polisi rahasia Belanda membuatnya semakin lelah, dan sering jatuh sakit.

“Tahun 1932, Soepratman mendapat sakit urat sjaraf, disebabkan lelahnja karena bekerdja keras. Setelah itu, beliau bersama kakaknja bertempat tinggal di Surabaja,” demikian kutipan tulisan Soejono Tjiptomihardjo dalam Buku “Kenang-Kenangan 10 Tahun Kabupaten Madiun”.

Perang, kejaran polisi rahasia Belanda, sakit-sakitan, dan tekanan ekonomi, telah membuat WR Supratman harus bercerai dengan istrinya.

Tepat pada tanggal 17 Agustus 1938 ia wafat dan dimakamkan di Surabaya.

Tanggal keramat, yang seolah menunjukan bahwa di masa yang akan datang, tanggal itu adalah wujud dari lagu Indonesia Raya yang ia ciptakan. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ia dianugrahi gelar kebangsaan, sebagai Pahlawan Nasional dan Bintang Maha Putera Utama kelas III pada tahun 1971. Hari lahirnya, tanggal 9 Maret, adalah hari kelahiran versi pertama Soepratman, ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional oleh Megawati Soekarnoputri saat menjadi presiden RI.

Masih banyak penelusuran sejarah yang harus dilakukan terhadap kehidupan pribadinya. Meskipun, senyatanya, lagu ciptaannya, Indonesia Raya, adalah menjadi “milik” siapapun yang berbangsa dan bertanah air satu: Indonesia.*

avatar

Redaksi