Mereka Yang Dicabut Baiatnya
Daulat
July 31, 2024
Farokh Idris/Kota Jambi

Perjanjian Renville, perundingan antara pihak Indonesian dan Belanda di atas kapal USS Renville yang berada di Teluk Jakarta, 8 Desember 1947. (credits: ”30 Tahun Indonesia Merdeka” Jilid I)
KAMIS, (25/7), sebanyak 252 orang yang terafiliasi dalam kelompok Negara Islam Indonesia (NII) di wilayah hukum Provinsi Jambi, telah dicabut baiatnya. Di lapangan hitam Mapolda Jambi, keseluruhan dari mereka berikrar untuk setia pada Republik Indonesia.
Tujuan dari pelepasan baiat adalah untuk mengembalikan mereka yang pernah terafiliasi NII kepada nilai yang moderat sesuai dengan nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Mereka yang mengikuti batal baiat dan menyatakan untuk kembali ke NKRI adalah anggota NII faksi KW 9 dan faksi MYT,” kata Kepala Anjak Tama Bidang Penindakan Densus 88 Polri Brigjend Pol Torik Triyono, mengutip TribunJambi.
Kepada para pemangku kebijakan, ia meminta agar menerapkan strategi baru secara sistematis untuk mencegah berkembangnya intoleransi dan radikalisme yang dapat menjadi ancaman yang nyata, saat ini.
Menurutnya, terdapat dua faksi dalam tubuh NII. Yakni; KW 9 dan MYT (Muhammad Yusuf Tohiri).
Faksi KW 9 masuk ke Provinsi Jambi pada tahun 1987. Yakni di Koto Lolo, Sei Ulak, Kabupaten Kerinci. Faksi ini dibawa oleh Mutasof Harbi, yang kala itu menjabat sebagai menteri pendidikan sekaligus dewan Imam NII.
“Mereka banyak merekrut anggota, dan membentuk struktur pemerintahan berskala provinsi,” katanya.
Namun, terjadi perpecahan di tubuh NII KW 9. Hasilnya adalah membentuk tim reformasi pada tahun 2012.
Lalu, Mutahid Azwar alias Abu Basir sebagai menteri hukum dan syariah NII dan selalu tim reformasi pembawa NII faksi Muhammad Yusuf Tohiri (MYT).
Adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, seorangan nasionalis agamis yang mendirikan NII pada 7 Agustus 1949. Dan, sejak tanggal itu, ia melakukan pemberontakan terhadap Republik Indonesia selama hampir 13 tahun di daerah Jawa Barat.
Kartosuwirjo, mengutip VOAIslam, membentuk NII karena merasa kecewa terhadap pemerintahan Soekarno dan Perjanjian Renville. Yakni pada isi Perjanjian Renville nomor 3, dimana TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah-daerah kantong di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Kartosuwirjo menganggap ini adalah sikap lemahnya pemerintah RI terhadap Belanda. Ia dan pasukannya memutuskan untuk tidak keluar dari kantong gerilya yang berada dalam jangkauan garis demarkasi van Mook yang pada saat itu adalah wilayah kekuasaan Belanda.
Meskipun, senyatanya, dengan cara mendirikan NII, harus diakui, pemberontakan Kartosuwirjo ini malah semakin melemahkan posisi RI yang kala itu masih berusia empat tahun.
NII, juga disebut Darul Islam (: Negera Islam) atau disingkat DI. Sedangkan milisinya disebut Tentara Islam Indonesia (TII).
Dalam buku-buku sejarah, pemberontakan yang dipimpin oleh Kartosuwirjo dikenal dengan sebutan DI/TII. Pada pemberontakan itu, diperkirakan 13.000 orang meninggal dunia.
Tujuan dari pemberontakan Kartosuwiryo ini adalah untuk membentuk negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Pemberontakan Kartosuwirjo ditumpas TNI, dan ia dieksekusi pada tahun 1962.
Selanjutnya, pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureu’eh di Aceh memulai pemberontakan terhadap RI. Daud Beureu’eh merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwirjo.
Pada bulan Oktober 1950 DI/TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Ibnu Hadjar beserta seluruh anggotanya tertangkap dan dihukum mati pada akhir tahun 1959.
DI/TII di Jawa Tengah, yakni di daerah Tegal-Brebes dipimpin Amir Fatah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung pemberontakan DI/TII.
Semntara di Sulawesi Selatan, Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpim oleh Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin. Namun tuntutan itu ditolak.
Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII Corps Tjadangan Nasional (CTN), Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan melakukan pemberontakan.
Nama pasukan diubah menjadi Tentara Islam Indonesia (TII) oleh Kahar Muzakkar. Ia menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Pada tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
Berkaca dari pencabutan baiat di Provinsi Jambi, pada kenyataannya, Darul Islam tetap underground, meskipun terpecah menjadi banyak faksi.
Sehingga, seperti yang dinyatakan Kepala Anjak Tama Bidang Penindakan Densus 88 Polri Brigjend Pol Torik Triyono, para pemangku kebijakan harus menerapkan strategi baru secara sistematis untuk mencegahnya.*
