THR; Diusulkan Masyumi Dan Diperjuangkan SOBSI
Ekonomi & Bisnis
April 7, 2024
Junus Nuh

(: yuksebar)
TUNJANGAN Hari Raya (THR) di Indonesia, diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 6 tahun 2016 tentang tunjangan hari raya keagamaan bagi pekerja/buruh di perusahaan. Ini adalah hak pekerja/buruh yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Dengan besaran THR pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih adalah sebesar 1 bulan upah atau lebih besar seuai dengan perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama (PKB), atau kebiasaan yang berlaku di perusahaan tersebut telah mengatur besaran THR yang lebih baik dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional.
Serta sanksi bagi pengusaha yang terlambat membayar THR dikenai denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar.
Meskipun, mengutip spn.or.id, besaran THR yang ditetapkan sebesar 1 (satu) bulan upah dinilai tidak proporsional dengan kebutuhan hidup pekerja/buruh. Serta pembayaran THR yang paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan dinilai terlalu dekat. Karena dapat dapat menyebabkan pekerja/buruh kesulitan untuk mengatur keuangannya.
THR itu sendiri punya sejarah yang panjang. Bermula sejak era Orde Lama (Orla), dimana pada tahun 1951, Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo dari partai Masyumi memberikan tunjangan kepada Pamong Pradja (saat ini disebuut PNS) berupa uang persekot (pinjaman awal) dengan tujuan agar dapat mendorong kesejahteraan lebih cepat.
Uang persekot akan dikembalikan ke negara dalam bentuk pemotongan gaji pada bulan berikutnya.
Mengutip setkab.go.id mencatat, Soekiman memimpin Kabinet Soekiman, dengan 17 kementrian, pada 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Soekiman mencanangkan program kerja, dimana kesejahteraan aparatur negara harus meningkat. Berdasarkan program kerja ini, Soekiman mengeluarkan kebijakan agar pamong pradja mendapatkan tunjangan sebelum hari raya.
Pemberian THR saat itu dimungkinkan karena kondisi perekonomian Indonesia sedang stabil, sehingga pemerintah berani mengambil kebijakan ini. Pada saat itu, besaran THR yang diberikan sebesar IDR 125 hingga IDR 200, atau jika diperbandingkan pdengan saat ini, yakni setara dengan gaji pokok pegawai senilai IDR 1.100.000 hingga IDR 1.750.000.
Setelah satu tahun berjalannya kebijakan itu, mendapat protes dari pekerja/buruh. Mereka menginginkan hal yang sama.
Maka, menurut indonesiabaik, pada tanggal 13 Februari 1952, para buruh melakukan protes dengan mogok kerja dan menuntut pemerintah memberikan uang THR bagi para buruh sebesar satu bulan gaji. Para buruh didukung oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang merupakan organisasi buruh terbesar pada saat itu.
Setelah dua tahun berjuang, tuntutan ini berhasil. Menteri Perburuhan Indonesia S.M Abidin menerbitkan Surat Edaran nomor 3667 tahun 1954 tentang Hadiah Lebaran.
Isinya adalah menghimbau setiap perusahaan untuk memberikan “Hadiah Lebaran” untuk para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah yang diterima dalam rentan waktu satu tahun. Jumlah minimum adalah IDR 50 dan maksimum IDR Rp 300.
Sangat disayangkan, pada rentang 1955 hingga 1958, karena surat edaran ini hanya bersifat imbauan saja. Sehingga, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan secara sukarela.
Selanjutnya, surat edaran yang bersifat himbauan, berubah menjadi peraturan Menteri Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan “Hadiah Lebaran” kepada pekerja minimal 3 bulan bekerja. Adapun Menteri Perburuhan saat itu dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Setelah berlangsung cukup lama, maka pada tahun 1994, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan menteri dengan mengubah istilah “Hadiah Lebaran” menjadi “Tunjangan Hari Raya” atau THR.
Peraturan itu, mengalami revisi pada tahun 2016. Dimana THR dapat diberikan kepada pekerja dengan minimal 1 bulan bekerja yang dihitung secara proporsional.*
