Duka Anak-Anak Korban Perang Suriah

Hak Asasi Manusia

January 17, 2025

Mikel Gabrila

Anak-Anak Desa Obada, Damaskus sedang mendapat perawatan dan pengobatan gizi dan kesehatan. (credits: UNICEF)

“BAYI kami seperti membeku. Tidak bergerak, dan tidak berekspresi.”

Bayi itu bernama Morei. Bayi laki-laki berusia delapan bulan ini adalah anak dari pasangan Mohamed dan Abeer. Mereka tinggal di desa Obada di Damaskus, Suriah.

Setelah 14 tahun terjadinya perang saudara di Suriah, jutaan anak tidak mengenal apa pun kecuali konflik. Konflik yang memaksa anak-anak untuk tumbuh terlalu cepat, lebih cepat dari usia mereka yang sesungguhnya.

Morei, bahkan tidak mampu untuk menangis. Morei didakwa menderita kurang gizi.

Setelah Morei berhenti menyusu ASI pada usia empat bulan, berat badanya terus menurun.

Dengan kondisi perang berkepanjangan, Mohamed tidak memiliki pekerjaan tetap. Desa mereka hancur. Dan, situasi ini membuat Mohamed tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya.

“Tidak ada yang dapat dimakan,” kata Mohamed.

Pada pertengah Desember 2024, tim kesehatan dan gizi keliling United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengunjungi desa mereka. Abeer pun membawa Morei untuk diperiksa.

Sejak Januari 2024, tim UNICEF telah berkegiatan di Suriah sejak Januari 2024. Dengan dukungan nutrisi untuk membantu mereka menjalani hidup yang lebih sehat, program ini telah menjangkau lebih dari 950.000 anak dan 1.350.000 perempuan di seluruh Suriah.

Raqqa yang mengalami kerusakan parah selama Pertempuran Raqqa Kedua. (credits: Wiki Commomns)

Setelah empat bulan menjalani perawatan untuk mengobati kurang gizi parah dan dua bulan untuk kurang gizi sedang, maka pada bulan Desember 2024, Morei dinyatakan: sembuh.

Morei adalah satu dari sekian banyak anak-anak yang menjadi korban kejamnya perang Suriah. Anak-anak yang, bahkan belum bernalar, dan tidak memahami apa itu: politik.

Transisi politik yang kredibel dan inklusif seharusnya memprioritaskan hak-hak bagi 10 juta anak Suriah. Sebanyak 7,5 juta anak membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Dan, 6,4 juta anak lainnya sangat membutuhkan layanan perlindungan. Karena ketidakamanan dan kesulitan ekonomi yang memperparah pelanggaran hak-hak anak, ketakutan, dan tekanan.

Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Edouard Beigbeder mengatakan, bahwa Suriah membutuhkan skema perlindungan sosial berskala besar. Ini bertujuan untuk mencegah anak-anak dan keluarga yang paling rentan agar tidak jatuh lebih dalam ke dalam kemiskinan ekstrem.

“Di sini, dalam situasi perang, harga bahan bakar, roti, dan barang-barang pokok terus meningkat,” katanya, mengutip UNICEF.

Pelayanan kesehatan di Suriah masih rapuh. Hampir 40 persen rumah sakit dan fasilitas kesehatan sebagian atau seluruhnya tidak berfungsi.

Sekitar 13,6 juta orang membutuhkan layanan air, sanitasi, dan kebersihan. Dan 5,7 juta orang, termasuk 3,7 juta anak-anak, membutuhkan bantuan gizi.

“Tragisnya, ketika keluarga kembali ke rumah yang hancur akibat konflik, ranjau darat dan persenjataan yang tidak meledak (UXO) menimbulkan ancaman yang mematikan bagi mereka,” katanya.

Sejak 2020, sisa-sisa perang ini telah menewaskan lebih dari 1.260 anak. Bahkan, hanya dalam seminggu terakhir di bulan Desember 2024, sebanyak 11 anak tewas dalam insiden di dekat Aleppo, Daraa, dan Hama.

Selain itu, lebih dari 2,4 juta anak putus sekolah, dengan 1 juta anak lainnya berisiko putus sekolah.

Sehingga, sangat terbuka resiko yang lebih besar bagi anak-anak. Mulai dari pekerja anak, perkawinan anak, perdagangan manusia, dan perekrutan serta penggunaan oleh pihak-pihak yang berkonflik.

Pemulihan dini, katanya, harus didukung oleh komunitas internasional. Hanya ini satu-satunya cara untuk memastikan layanan yang berkelanjutan dan berkualitas bagi anak-anak dan kaum muda Suriah.*

avatar

Redaksi