Diusulkan Blokir Internet, Atas Nama Keamanan Negara

Hak Asasi Manusia

June 3, 2024

Farokh Idris

(credits : OHCHR)

SETELAH adanya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 19 tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negative yang memberikan kewenangan kepada negara untuk memblokir (akses) internet, kini, muncul kewenangan baru melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 19 tahun 2014, negar diberi kewenangan untuk memblokir dengan tujuan memberangus kegiatan pornografi dan kegiatan ilegal lainnya, yang bersifat negatif. Sepeti tertera pada Bab III pasal 4 ayat 1.

Juga, terkait masalah privasi, pornografi anak-anak, kekerasan, SARA, dan muatan negatif yang bisa berdampak luas. Seperti tertuang pada Bab IV pasal 10 c.

Lembaga negara dapat melaporkan situs bermuatan negatif itu ke Direktorat Jenderal, dan ditindaklanjuti. Seperti tertera pada Bab IV pasal 5 ayat 3 dan 4.

Saat ini, mengutip Kompas, kepolisian diusulkan untuk dapat melakukan pemblokiran serta upaya pelambatan akses di ruang siber terhadap akses internet publik demi keamanan dalam negeri. Ini termuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah ditetapkan menjadi inisiatif DPR RI dalam rapat paripurna (rapur), pada Selasa (28/5) lalu.

Pada RUU Polri itu, pemblokiran konten di media sosial diatur dalam pasal 16 huruf Ayat (1) huruf q. Dan, dalam pasal itu juga menyebutkan bahwa Polri berkoordinasi dengan Kementerian Informasi dan Teknologi untuk melakukan tindakan di ruang siber.

Namun, tidak ada penjelasan terkait keamaan dalam negeri seperti apa yang dimaksud. Sehingga memerlukan tindakan pemutusan, pemblokiran, dan pembatasan akses internet.

Pada pasal 16 huruf Ayat (1) huruf q RUU Polri, tertulis: “Melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.”

Mengutip internetsociety, kata-kata seperti filtering, blocking, shut down, dan censorship serta beberapa istilah lainnya yang hampir sama yang dipilih oleh pembuat kebijakan aktifitas digital, lebih didorong oleh nuansa semantik dibandingkan kebenaran teknis.

Sementara dari sisi pengguna internet, istilah yang dipilih tidaklah penting, jika dibandingkan dengan efeknya. Yakni beberapa bagian dari internet tidak dapat diakses.

Pemblokiran internet adalah berdasarkan pertimbangan kebijakan publik yang digunakan oleh otoritas negara untuk membatasi akses terhadap informasi, atau layanan terkait, yang ilegal di wilayah hukum tertentu, dan dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban umum, atau tidak diterima oleh khalayak tertentu.

Menurut laporan ohchr, dampak nyata dari penutupan internet terhadap kehidupan masyarakat dan hak asasi manusia masih terlalu diremehkan. Terlalu sering, saluran komunikasi utama atau seluruh jaringan komunikasi diperlambat atau diblokir, dan ribuan atau bahkan jutaan orang kehilangan satu-satunya cara mereka untuk menjangkau orang-orang tercinta, melanjutkan pekerjaan mereka atau berpartisipasi dalam politik. perdebatan atau keputusan.

Pebutupan internet, menurut laporan ini, melanggar sejumlah hak asasi manusia. Yakni hak asasi yang pertama dan paling utama: hak atas kebebasan berekspresi.

Penutupan layanan dapat berarti pemblokiran total terhadap koneksi internet. Namun pemerintah juga semakin sering melakukan pelarangan terhadap platform komunikasi utama dan membatasi bandwidth serta membatasi layanan seluler pada kecepatan transfer 2G. Sehingga menyulitkan, misalnya, untuk berbagi dan menonton video atau siaran gambar langsung.*

avatar

Redaksi