Ancaman Terhadap Demokrasi Di Indonesia
Resonansi
March 30, 2025
Jon Afrizal

Potret kemiksinan di Indoensia. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Demokrasi Indonesia lebih dari sekadar sikap dan nilai-nilai para pemimpin politiknya. Pemimpin kekuasaan, memang, telah membentuk politik demokratis. Tetapi mereka tidak menentukan apa itu demokrasi. Demokrasi di Indonesia, seperti di negara lain, adalah sistem politik yang muncul dari tindakan elit, massa, dan kelompok sosial bersama-sama, yang bekerja melalui lembaga-lembaga yang mapan, mengikuti norma-norma toleransi timbal balik dan kesabaran, dan secara damai menyelesaikan perbedaan politik yang sah melalui rotasi kekuasaan yang tertib melalui pemilihan yang bebas dan adil.” Thomas B. Pepinsky – Cornell University
SEJAK jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 lalu, hingga hari ini, sebagian besar fase Reformasi dianggap gagal.
Meskipun, Indonesia telah berhasil mewujudkan struktur demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia telah menurun tajam, dan ekonomi sedang mengalami kemajuan. Tetapi, anti-korupsi, kolusi dan nepotisme telah gagal.
Meskipun tinjauan internasional telah menunjukkan Indonesia lebih banyak positif ketimbang negatif. Toh, Indonesia diterima di G-20 dan dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga.
“Tapi, kita menyadari, bahwa Indonesia terguncang oleh krisis kecil dan skandal, sementara tidak ada terobosan yang dapat banggakan. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi adalah efek dari sumber daya alam yang dijual ke negara lain, dan bukan industri dan peningkatan efisiensi kerja,” kata Franz Magnis Suseno, mengutip UGM.
Keberhasilan ekonomi terbesar adalah karena ekspor minyak sawit. Dan, menempatkan Indonesia sebagai negara nomor satu dalam menghancurkan hutan hujan dan bakau.
Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa setidaknya empat ancaman serius dapat membawa Indonesia ke kehancuran demokrasi, pada saat ini.
Keempatnya adalah; kegagalan otonomi daerah, ketidakadilan dalam menciptakan keadilan sosial, semakin banyak kebebasan untuk ideologi agama yang radikal, mendasar dan ekstrim, dan jatuhnya kelas politik dalam politik uang dan korupsi.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku “How Democracies Die” menyebutkan bahwa banyak upaya dari pemerintah untuk menumbangkan demokrasi secara “legal”. Dalam artian bahwa tindakan itu disetujui oleh legislatif atau diterima oleh system peradilan.
Pemerintah, bahkan dapat terlihat sedang berupaya untuk meningkatkan demokrasi. Dengan membuat system peradilan yang lebih efisien, memerangi korupsi, atau membersihkan proses pemilihan.

Athena, perlambang kebebasan dan demokrasi. (credits: Wiki Commons)
Media masih berkiprah dan tetap dibaca. Tetapi, intimidasi adalah sensor sendiri.
Warga tetap melakukan kritik terhadap pemerintah. Tetapi, warga sering terbentur dengan pajak ataupun masalah aturan lainnya. Ini menabur kebingungan publik.
Orang-orang tidak segera menyadari apa yang terjadi. Banyak yang terus percaya bahwa mereka masih hidup di bawah demokrasi.
Ketika lembaga-lembaga ngeara menjadi senjata politik, yang dipegang oleh “mereka” untuk mengendalikan mereka lainnya yang tidak memilki kuasa. Ini adalah bagaimana otokrasi terpilih telah menumbangkan demokrasi.
Dengan “mempersenjatai” peradilan dan lembaga netral lainnya. Juga, membeli media dan sektor swasta, atau malah menggertak mereka untuk bungkam.
Lalu, menulis ulang aturan politik untuk memenangkan pertandingan dengan menguasai arena permainan terhadap lawan politik.
Paradoks dari pola otoritarianisme adalah, bahwa pembunuhan terhadap demokrasi telah menggunakan institusi demokrasi itu sendiri.
Yang secara bertahap, pelan dan pasti, dan, bahkan secara aturan resmi, telah membunuh demokrasi itu sendiri.*

