“Ngalun”, Dari Sindiran Hingga Kisah Percintaan
Budaya & Seni
May 31, 2024
Jon Afrizal/Kumpe, Muarojambi
Senandung Jolo. (credits : youtube)
“Kalu tuan naek perahu,
Jangan lupo membawo jalo,
Kalu tuan ingin tau,
Ikolah diok Senandung Jolo.”
PENDUDUK di Dusun Tanjung Kecamatan Kumpe Ilir Kabupaten Muarojambi Provinsi Jambi memiliki tradisi seni budaya dan seni pertunjukan. Seni budaya bertutur dan bermusik, yang kemungkinan besar berawal dari masa kejayaan Melayu Islam. Sayang, belum ada penelitian terkait dengan waktu awal terciptanya kesenian ini.
“Ngalun” yang berasal dari kata “mengalun” demikian penduduk menyebutnya. Alunan, yang berhubungan dengan nada; baik itu lirik maupun musik.
Secara akademik, seni ini biasa disebut “Senandung Jolo”. Senandung adalah alunan syair dan musik, dan Jolo adalah jala atau jaring sebagai alat untuk menangkap ikan.
Melihat geografi wilayah, dengan keutamaan Sungai Batanghari sebagai sumber penghasilan, maka seni ini memang pada awalnya digunakan untuk “membunuh sepi”. Yakni ketika seseorang, umumnya lajang, sedang menangkap ikan di Sungai Batanghari. Atau, ketika sedang berada di sawah untuk menjaga bulir-bulir padi agar tidak dimangsa burung.
Secara harfiah, seni tradisi ini acap dilantunkan oleh pemuda yang sedang jatuh cinta pada seseorang atau sedang dalam mencari pasangan pendamping hidup.
“Pucuk pau selaro pau,
Pinang mudo dibelah duo,
Adek jauh abang pun jauh,
Kapan-kapan kito bejumpo.”
Selain itu, juga menjadi media untuk mengungkapkan hal-hal yang terjadi di tengah masyarakat. Seperti misalnya, protes terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan adat dan budaya. Cara protes yang sangat khas Melayu Jambi : sindiran.
Menyindir, menurut KBBI, adalah mengkritik (mencela, mengejek, dan sebagainya) seseorang secara tidak langsung atau tidak terus terang, atau mengata-ngatai (mencela) seseorang, tetapi perkataan-perkataan itu ditujukan kepada orang lain.
Meskipun, seiring perkembangannya, sindiran tidak lagi digunakan dalam seni tradisi Senandung Jolo ini. Tetapi, lebih ke arah kisah-kisah percintaan saja. Atau bahkan, dapat saja menjadi puji-pujian dan rasa bangga terhadap suatu daerah, terutama dusun sendiri.
Berangkat dari sajak khas Melayu, yakni pantun, dengan penerapan unsur a-b-a-b pada empat lirik dalam satu bait, Ngalun dapat menjadi seni pertunjukan.
Dalam perkembangannya, Ngalun dikemas dengan menggunakan musik.
Sebab, selain menggunakan syair pantun, Ngalun juga menggunakan alat musik pukul, yang menjaditempo dari setiap penyajian seni pertunjukan ini. Seperti gambang kayu, tetawak, rebana, gendang panjang, gong dan beduk.
Dalam penggunaannya, secara struktur, Ngalun dapat dibagi menjadi tiga bagian. Yakni: pantun pembuka, pantun spontan dan pantun penutup.
Tetapi, pantun spontan, sebenarnya, adalah inti dari yang hendak disampaikan.
“Teluk dalam Kualo Sedu,
Ujung Jabung negeri lamo,
Tengah malam bangun merindu,
Awak dak pasi becerai lamo.”
Melalui ketiga struktur ini, yang tentu saja dapat menjadi sebuah seni pertunjukan yang apik. Sehingga wajar jika Ngalun hingga kini masih tetap lestari hidup di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, selain dapat digunakan di keseharian, juga menjadi pertunjukan pada acara-acara resmi. Seperti pernikahan, misalnya.
Mengutip kemendikbud, sebagai warisan budaya tak benda, Senandung Jolo adalah kesenian sastra tutur sebagai materi utama. Kesenian ini cukup unik, karena setiap pemain sering mengambil posisi duduk bersila.
Meskipun jumlah pemain musik dan penyanyi tidak dibatasi, tetapi dengan ketentuan minimal dua orang. Syair pantun dinyanyikan secara saling berbalasan oleh para penyanyi atau penyair. Dimana musik meningkahi lantunan syair mereka.
Mengutip senandungjolo, masih terdapat tiga orang yang hingga kini dapat dianggap sebagai pelestari Senandung Jolo. Yakni Maryam, Alfian alias Degum, dan M Zuhdi.
Usia ketiganya telah mendekati lanjut. Dan dibutuhkan regenarasi agar seni tradisi ini tetap lestari.*
“Mangkuk sabun berisi minyak,
Biji karanji bawa ke toko,
Mintak ampun pado yang banyak,
Kami bajolo sampai di siko.”