Kubu, Orang Terang Dan Orang Dalam (1)

Hak Asasi Manusia

May 9, 2024

Fachruddin Saudagar

Kelompok Kubu di Air Itam, Jambi kemungkinan tahun 1920. (credits : Universiteit Leiden)

Indigenous people yang berada di Provinsi Jambi memiliki pertalian dengan Suku Melayu. Pertalian yang telah ada sejak lama. Mengapa kini terbelah menjadi berbagai definisi, berikut adalah kajian ilmiah dari alm. Fachruddin Saudagar, yang dibagi menjadi dua tulisan, untuk pembaca Amira.

SUKU Anak Dalam (SAD) dikenal sebagai salah satu etnis asli Melayu sejak ratusan tahun lampau telah hidup menempati kawasan hutan pedalaman Jambi. Kehidupan asli mereka sangat erat kaitannya dengan hutan.

Sebab hutan bagi mereka selain sebagai sumber mata pencarian dan sebagai wahana pelestarian budaya leluhur juga hutan adalah sebagai kampung halaman. Di dalam hutan mereka dilahirkan, di dalam hutan mereka dibesarkan dan mereka matipun juga di dalam hutan. Pendek kata hutan bagi Orang Dalam adalah hidup dan kehidupannya.

Di dalam perbendaharaan bahasa Melayu Jambi khususnya bahasa Melayu yang dikembangkan oleh Orang Terang memang ada dijumpai kata “Kubu”. Kata Kubu berawal dari kata NgubuatauNgubun yang artinya bersembunyi di dalam hutan.

Pertanyaannya, adalah, mengapa mereka bersembunyi ke dalam hutan?

Dalam pandangan SAD penduduk Jambi hanya terdiri dari dua kelompok manusia yakni Orang Dalam disatu pihak dan Orang Terang di pihak lain. Suku Anak Dalam yang dikenal sebagai Suku Kubu sebenarnya mereka sendiri tidak menyebut dirinya kubu, tapi ia menyebut dirinya sebagai Orang Dalam, atau Orang Rimba, atau Orang Kelam.

Istilah Orang Kubu atau Suku Kubu adalah istilah yang dikembangkan oleh Orang Terang.

Menurut pendapat Orang Dalam di Simpang Sungai Mensio, Lubuk Bedorong, Kabupaten Sarolangun, istilah Kubu itu adalah pendapat Orang Terang yang artinya mondok dalam rimba. Zaman dahulu ada mitos tentang satu keluarga Orang Terang masuk hutan terkena sihir karena menghina Kubu. Legenda ini masih hidup dalam masyarakat Jambi.

Sementara, istilah SAD berkembang setelah adanya program pembinaan masyarakat terasing di Propinsi Jambi. Mereka (Orang Dalam) menyebut orang lain di luar budayanya sebagai Orang Terang.

Dalam sejarah Jambi, antara Orang Dalam dengan Orang Terang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) yakni besanak/sanak. Oleh karena itu Orang Terang sering menyebut Suku Anak Dalam dengan panggilan familiar sebagai Sanak atau Besanak.

Besanak atau Sanak artinya bersaudara karena antara keduanya memiliki kesamaan asal-usul, budaya dan adat-istiadat leluhur (bengen), bahasa asli, larang pantang, dan kepercayaan tradisional. Oleh karena itu penulis menggunakan istilah Orang Dalam.

Daerah Jambi sejak ratusan tahun lampau telah dihuni oleh etnis Melayu antara lain adalah Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Duabelas, Suku Penghulu, Suku Pindah, dan Suku Kubu (Orang Dalam).

Orang Dalam hidup menyebar di dalam hutan mulai dari wilayah pantai, dataran rendah sampai dataran tinggi yang berbukit kecil. Namun mereka tidak mendiami kawasan hutan di daerah pegunungan/Bukit Barisan karena sudah terlalu dingin. Oleh karena itu Orang Dalam tidak hidup daerah Kerinci.

Jambi merupakan salah satu propinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terletak di tengah-tengah pulau Sumatera.

Propinsi Jambi sering juga disebut sebagai negeri awal Betapak Melayu Kuno dan juga sebagai pusat kerajaan Sriwijaya telah dihuni oleh Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Penghulu, Suku Kubu, Suku Pindah, serta berbagai suku pendatang lainnya.

Propinsi Jambi terdiri dari berbagai etnis Melayu. Satu diantara etnis Melayu yang menghuni wilayah Propinsi Jambi adalah Orang Dalam.

Orang Dalam banyak memiliki sebutan antara lain adalah Suku Kubu, Suku Anak Dalam, Anak Dalam, Orang Dalam, Orang Rimba, Orang Kelam, Besanak/Sanak, dll.

Menurut Achmad Munawir Muhammad (1975) salah satu suku asli yang menempati wilayah Jambi ialah Suku Bangsa Kubu. Sementara menurut Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Jambi (1972) Suku Bangsa Kubu di Propinsi Jambi dikategorikan sebagai Masyarakat Terasing yang dibedakan menjadi: kelana (liar), setengah kelana, dan menetap (Anak Terang). Sedangkan menurut majalah “Ide” yang dirintis Mahasiswa Jambi di Bandung nomor 5 tahun 1983 dengan Istilah “Jinak Menetap” dan “Jinak Mengembara” dan Kelana (liar).

SAD berasal dari orang-orang satria tidak mengenal menyerah kepada lawan, dengan berpendirian daripada menyerah lebih baik mendirikan kubu pertahanan di tengah hutan yang tidak dapat dijangkau oleh lawan kemudian orang menamakan sekelompok orang ini sebagai “Suku Bangsa Kubu”.

Pendapat lain mengatakan bahwa masyarakat terasing di daerah Jambi berasal dari penduduk Sri­wijaya yang secara berturut-turut diserang oleh musuh baik dari luar maupun dari dalam Negeri (India, Singo Sari/Mojopahit) misalnya penduduk Mandiangin dan sekitarnya daerah Kabupaten Sarolangun Bangko yang masuk hutan.

Di samping mereka yang berasal dari penduduk Sriwijaya terdapat pula suku terasing dari Suma­tera Barat (Minang Kabau) yang tidak kuat menghadapi angkatan perang Mojopahit yang begitu banyak misalnya penduduk di Merangin dan sekitarnya terletak di Muara Bungo dan Bangko me­rekapun masuk ke hutan mendirikan kubu pertahanan.

Tidak mustahil pula bahwa para penyerang yang kalah perang atau tersesat atau sebab-sebab lain tetap tinggal bersama-sama masyarakat terasing sekarang ini, sebab tidak ingin kembali ke posnya ma­sing-masing dan mereka ini sekarang tersebar di daerah Kabupaten Batanghari, Sarolangun Bangko, Tanjung Jabung dan Kabupaten Bungo Tebo/Kerinci.*

avatar

Redaksi