Ramai-Ramai Keluar Dari China

Hak Asasi Manusia

March 5, 2024

Zachary Jonah

Gerbang Chinatown di London, Inggris. (: sg.hotels.com)

BANYAK warga Hong Kong dan China daratan yang eksodus selama beberapa tahun ini. Dengan alasan melarikan diri dari penganiayaan, atau mencari kesempatan baru, lalu mereka pindah ke banyak negara. Seperti Taiwan, Inggris, Kanada Amerika, Australia dan Ekuador.

Menurut Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong, sekitar 89.200 orang telah meninggalkan Hong Kong antara pertengahan 2020 dan pertengahan 2021. Demikian mengutip VOA.

“Menurunnya kualitas hidup di Hong Kong membuat saya pindah ke negara lain,” kata Edwin Lai, seorang warga Hong Kong.

Setelah protes anti pemerintah yang berlangsung selama berbulan-bulan, undang-undang keamanan nasional baru saja disahkan di Hong Kong pada pertengahan 2020.

“Terjadi pembatasan, mulai dari kebebasan berbicara hingga Pendidikan,” katanya.

Menurut Badan Imigrasi Nasional Taiwan, warga Hong Kong semakin banyak yang pindah ke Taiwan. Lebih dari 10.000 orang pindah dari Hong Kong ke Taiwan pada 2020, jumlah terbanyak dalam sejarah dan hampir dua kali lipat dari 2019. Relokasi serupa terus berlangsung pada 2021, dengan lebih dari 5.000 orang pindah pada tujuh bulan pertama di tahun itu.

Tujuan eksodus yang lebih populer adalah Inggris. Pada paruh pertama 2021, lebih dari 65.000 warga Hong Kong mendaftar untuk pindah ke negara itu.

Ini terkait dengan terbitnya program visa British National (Overseas) (visa BNO) pada tahun lalu, yang dapat digunakan oleh warga Hong Kong dan keluarganya yang mempunyai paspor BNO. Sekitar 5,4 juta orang memenuhi syarat untuk program ini.

Mike dan Ivy Lam adalah warga Hong Kong yang telah mengajukan visa BNO dan pindah dengan putra mereka yang berusia 11 tahun dari Hong Kong ke Inggris pada Desember 2020.

“Keadaan di Hong Kong memburuk dengan sangat cepat. Dan memaksa kami untuk mengambil keputusan dengan cepat,” kata Mike.

Jumlah orang dari China yang mencari suaka di seluruh dunia meningkat tajam dalam dekade terakhir. Menurut Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, yakni meningkat dari 7.732 pada 2010 menjadi 108.071 pada 2020.

Selain itu, banyak orang yang melarikan diri khawatir China akan berusaha mempersekusi mereka setelah meninggalkan negara itu. Orang-orang ini termasuk orang Uyghur, kelompok yang terdiri dari sebagian besar Muslim Turki yang tinggal di kawasan Xinjiang di China.

Turki dianggap sebagai tempat berlindung bagi pengungsi Uyghur yang melarikan diri dari pusat detensi China yang disebut Human Rights Watch sebagai “kejahatan kemanusiaan.” Sekitar 50.000 orang Uyghur tinggal di negara Asia barat itu.

Tetapi, China membantah menyiksa orang Uyghur. Pada Agustus 2020, media pemerintah China, CGTN menggambarkan pusat detensi tersebut sebagai “pusat pelatihan dan pendidikan kejuruan, yang dibangun untuk menjauhkan orang-orang dari ekstremisme agama.”

Namun, setelah Turki dan China memperkuat hubungan ekonomi dan keamanan, keluarga Uyghur di Turki dan pengacara mereka mengatakan komunitas Uyghur mengalami semakin banyak ancaman dan mereka khawatir Turki ditekan untuk menghukum dan mendeportasi aktivis Uyghur.

Enver Turdi, seorang Uyghur, mengatakan ia terus-menerus diawasi di Turki, di mana ia ditahan selama setahun. Di Xinjiang, ia melaporkan berita tentang pelanggaran hak asasi manusia di China, dan terus melakukannya dari Turki.

“Turki menahan dan menginvestigasi orang-orang selama berbulan-bulan atau setahun dan tidak menemukan apa-apa. Begitu mereka mendapatkan informasi yang benar, mereka membebaskan mereka. Sudah tiga tahun dan saya masih diinvestigasi. China tidak bisa memberikan bukti,” kata Turdi.

Menurut Amnesty International,  pemerintah China telah menahan sedikitnya 1 juta orang yang sebagian besar Muslim Uyghur dari kawasan Xinjiang sejak 2017 lalu.

Fatima Abdulghafur, yang lahir di Xinjiang, pindah dari China untuk mencari kebebasan. Ia sedang belajar untuk mendapatkan gelar doktor di bidang geofisika, tinggal di Amerika Serikat dan kemudian pindah ke Australia, menikah dan tinggal di negara itu yang ditempati oleh lebih 650.000 imigran yang lahir di China.

Ia mengatakan saudara laki-lakinya adalah salah satu dari orang Uyghur yang ditahan di kamp, seperti ayahnya, yang meninggal di sana.

“Saya meninggalkan China karena saya melihat saya mungkin jadi budak selamanya,” ujarnya.

Milly, mantan guru Bahasa Inggris dari China di Ekuador, mengatakan 80 persen hingga 90 persen orang yang meninggalkan China dengan alasan mereka pergi karena takut hidup di sana. Ketidakpastian ekonomi dan politik juga alasan utama yang membuat orang meninggalkan China.

“Banyak klien saya yang takut Renminbi mereka (mata uang China) tidak akan ada harganya, jadi mereka menukar semua RMB ke dolar dan menyimpannya di rumah,” katanya.

Beberapa dari mereka takut China akan kembali pada model ekonomi terencana. Khususnya bagi generasi yang pernah mengalami masa-masa gelap itu, mereka takut properti milik mereka akan disita.*

avatar

Redaksi