Saatnya “Medu” Sialang Dipanen
Lingkungan & Krisis Iklim
October 26, 2023
Jon Afrizal/ Masai Rusa, Batanghari
Bibit sawit adalah komoditas yang selalu ditemui di areal yang telah dibakar oleh perambah. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
“TAHUN ini kami sudah kembali dapat memanen madu lagi. Setelah hampir empat tahun tidak pernah mendapatkan medu.” Demikian Husen menerangkan tentang penghidupan mereka.
Husen adalah indigenous people Batin Sembilan. Penduduk asli yang sejak lama tinggal di hutan dataran rendah Sumatera, di antara Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.
Pemerintah menyebutkan mereka dengan sebutan Suku Anak Dalam (SAD) atau juga Komunitas Adat Terpencil. Terlepas dari penyebutan itu, mereka tetap saja menyebut diri sebagai “Orang Batin”.
Kelompok-kelompok yang mendiami dataran di sembilan aliran anak sungai; dua diantaranya adalah Sungai Kapas dan Sungai Meranti.
Sungai-sungai ini adalah huluan Sungai Musi, yang mengalir melalui Sungai Batanghari Leko.
Bagi masyarakat Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan, masyarakat Batin Sembilan dikenal sebagai “penjaga perbatasan” Kesultanan Palembang dan Kesultanan Djambi. Sebagai penjaga perbatasan, tentu saja mereka adalah prajurit pilihan.
Secara harfiah, kelompok masyarakat Batin Sembilan dapat dibagi menjadi dua. Yakni Kubu Lebar Telapak dan Kubu Penyandang Atap.
Kedua sebutan ini adalah ciri dari masing-masing kelompok.
Kini, sekitar 1.000 jiwa warga Batin Sembilan tetap hidup dan menjaga areal perbatasan itu. Yang oleh KLHK disebut sebagai konsesi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).
Demi bertanam sawit, perambah membakar apa saja, termasuk pohon Sialang tempat ratu dan prajurit lebah madu bersarang. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
Para inisiator areal restorasi ekosistem pertama di Indonesia seluas 1 juta hektare ini menyebut kawasan ini dengan sebutan Hutan Harapan.
Terciptanya harapan untuk memperbaiki areal yang dulu rusak akibat HPH dan illegal logging untuk menjadi hutan kembali. Juga adanya harapan agar masyarakat Batin Sembilan dapat hidup layak.
Tetapi, cita-cita yang baik terkadang harus menempuh ujian berat. Masyarakat Batin Sembilan menggantung hidup dari hasil hutan.
Seperti damar dan medu ( : madu). Madu tidak hanya berarti untuk kebutuhan manusia saja. Tetapi, yang terpenting adalah madu menunjukkan bahwa hutan masih ada. Sebab, masih banyak pohon berbunga sebagai “lumbung pangan” prajurit lebah.
Mang Rusman, Temenggung masyarakat Batin Sembilan mengatakan kebakaran hebat di tahun 2019 lalu, akibat ulah perambah, terutama di kawasan Sungai Jerat, telah juga mematikan sebanyak 50-an batang Pohon Sialang.
Pohon Sialang adalah pohon yang dipilih oleh Ratu dan prajurit lebah untuk bersarang. Umumnya pohon ini memiliki kulit kayu yang licin. Seperti kayu jenis sepa, kempas, mengeris, pulai, jelutung, kayu aro dan keruing.
“Yang tersisa saat ini hanya 30-an pohon Sialang saja,” katanya.
Seminggu lalu, warga Batin Sembilan sempat terlihat menjual madu Sialang ke camp PT REKI di Desa Bungku. Umumnya mereka menjual seharga Rp 110.000 per kilogram.
Panen pertama, setelah empat tahun tidak pernah panen.
Banyak terdengar teori tentang ratu dan prajurit lebah yang tidak lagi mau bersarang di hutan ini. Satu diantaranya, para lebah telah pergi jauh dari kawasan yang telah terbakar dan menimbulkan asap pekat di tahun 2019 ini.
Kini, satu persatu pohon Sialang mulai dihuni oleh ratu dan prajurit lebah.
Ketika berada di pos Sungai Jerat, sempat terlihat sebatang pohon Sialang yang sedang “dihuni” oleh para lebah.
Secara umum, satu pohon Sialang dapat menghasilkan maksimal 3 ton. Satu pohon Sialang dihuni oleh maksimal lima sarang.
“Untuk satu sarang berat madu sekitar 40 kilogram,” kata Husen.
Tetapi, pohon Sialang yang paling diminati oleh ratu dan prajurit lebah adalah Pohon Pulai. Satu pohon Pulai dapat menampung sebanyak 100 sarang.
Tentunya, akar pohon pun harus kuat mencengkram bumi. Dengan ketinggian yang mencapai di atas 20 meter.
Banyak warga Batin Sembilan sudah mulai menunjukkan rasa bingsal terhadap para perambah. Mereka yang datang dari luar kawasan. Kemudian membuka kebun sawit di kawasan ini.
“Mereka membuka lahan dengan cara membakar. Mereka tidak memahami pohon apa yang terbakar dan apa kegunaannya bagi kami,” kata Husen.
Tidak hanya Pohon Sialang, tetapi juga pohon-pohon lainnya pun ikut terbakar di perbatasan kawasan Sungai Jerat dan Tanjung Mandiri. Termasuk pohon durian.
“Jika mereka membakar lahan, dan pohon Sialang ikut terbakar, artinya mereka juga membakar kami, warga Batin Sembilan. Sebab itu adalah penghidupan kami,” kata Mang Rusman.
ejak panen madu di pekan lalu, kembali muncul harapan baru bagi warga Batin Sembilan. Bahwa ada “jaminan” penghidupan mereka dari madu Sialang.
Bagi para consevationist, tentunya perwujudan dari harapan untuk memperbaiki areal yang telah rusak ini.*