Sulitnya Pembelajaran Daring Bagi Anak Tanpa Signal

Hak Asasi Manusia, Inovasi

March 22, 2023

Zulfa Amira Zaed, Pekanbaru

Sekolah Dasar (pembantu) yang digunakan untuk belajar siswa Suku Talang Mamak. (credit title: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

PENDIDIKAN adalah hak seluruh anak. Anak-anak Suku Talang Mamak yang berada di Desa Talang Jerinjing, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai ke sekolah. Mereka harus melewati lahan gambut untuk sampai ke Sekolah Dasar Negeri 17 Suku Terasing. Suku Terasing, begitulah dulu orang menyebut sekelompok orang di dalam hutan yang mendiami hampir 50 hektar lahan gambut di Desa Talang Jerinjing.

Keadaan sekolah yang seadanya seketika menyambut siapapun yang datang. Bangunan yang terbuat dari papan tersebut biasa digunakan untuk belajar 30 orang anak. Sebenarnya ini bukanlah sekolah utama SD N 17 Talang Jerinjing, ini adalah cabangnya yang sengaja dibuat di tengah hutan agar anak-anak Suku Talang Mamak tak perlu menempuh jarak yang terlalu jauh menuju ke arah Jalan Lintas Timur Sumatera yang dekat dengan Kantor Desa Talang Jerinjing.

Menurut pengakuan salah seorang warga yang tinggal tepat di depan sekolah tersebut, guru di sekolah itu jarang datang ke sekolah.

“Anak-anak di sini ya begini, kadang sekolah kadang tidak. Ketika murid sudah berkumpul di sekolah, guru yang tidak datang. Hal itu juga yang membuat beberapa orang tua murid memutuskan untuk memindahkan anaknya ke sekolah ke arah Kota Rengat. Apalagi saat ada pandemi, makin jarang interaksi antara guru dan murid,” jelas Kambut yang tinggal di dekat sekolah tersebut.

Sebelum pandemi melanda, anak-anak Talang Mamak pergi ke sekolah dengan jalan kaki dan beberapa diantar orang tuanya menggunakan sepeda motor. Medan yang ditempuh juga tak selamanya mudah terutama ketika hujan datang. Jalan akan basah, sulit dilalui. Tak jarang kendaraan akan terperosok.

Besar harapan anak-anak untuk belajar, namun harapan mereka tidak selalu terkabul. Jauhnya jarak tempuh antara rumah guru yang berada di sekitar Kota Rengat menuju ke sekolah bukan hal yang mudah ditempuh. Mereka harus menempuh perjalanan sekitar 20 km, dengan melewati jalan tanah, gambut, berlumpur. Tak jarang harus melewati kubangan air gambut yang berwarna hitam. Tambah lagi guru yang bertugas di sana adalah guru honorer dengan upah yang dinilai kurang untuk memenuhi kebutuhan. Hal yang tidak sebanding untuk sebuah perjuangan yang tidak mudah.

Saat musim hujan berkepanjangan, sekolah ini akan tenggelam. “Kalau hujan lebat dan sering, lama-lama sekolah kebanjiran, tak bisa untuk belajar. Warga di sekitarnya pun harus mengungsi ke tempat aman. Biasanya Kepala Desa akan mengarahkan untuk mengungsi di Kantor Desa Talang Jerinjing,” jelas Teha, orang asli Talang Mamak yang dipercaya memimpin Suku Talang Mamak di Talang Jerinjing tiga tahun belakangan.

“Saat musim hujan sekolah cabang di RT 20 Talang Jerinjing akan terendam air. Rumah di sekitarnya juga terendam. Maka dari itu akan kami evakuasi menuju Kantor Desa Talang Jerinjing dan akan kami sediakan dapur umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama mengungsi ke Kantor Desa,” jelas Edy Prayitno, ST. Selaku Kepala Desa Talang Jerinjing pada 13 Agustus 2020.

Ruang kelas Sekolah Dasar (pembantu) yang biasa digunakan untuk belajar. (credit title: Zulfa Amira Zaed.amira.co.id)

Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan

Banyak anak Suku Talang Mamak yang tidak mengenyam pendidikan. Pemicunya banyak, mulai dari perjalanan yang jauh untuk sampai ke sekolah, anak-anak yang cenderung kurang semangat karena tidak terbangunnya kesadaran pentingnya sekolah, para orang tua yang masih buta aksara sehingga sulit untuk mengajarkan anaknya belajar.

“Pernah ada pelatihan membaca yang diadakan oleh pemerintah daerah setempat, namun tidak semua warga yang buta aksara mau untuk mengikutinya, sehingga sampai saat ini masih ada yang tidak bisa membaca,” papar Teha.

“Tidak semua orang di sini punya Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, makanya sulit untuk mengurus Akta Kelahiran. Turun temurun pernikahan dilakukan secara adat, walau ada juga yang secara agama, namun dari orang tua tidak memiliki dokumen untuk kemudian dilanjutkan membuat Akta Kelahiran untuk anak. Ada juga yang belum merasa bahwa dokumen itu penting sehingga tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rata-rata masih lulus SD. Bagi yang memiliki Identitas dan dokumen, biasanya melanjutkan ke Sekolah menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) ke Kota Rengat. ada juga yang sampai kuliah ke Pekanbaru. Adik ipar saya contohnya yang kuliah ke Pekanbaru, namun tidak sampai selesai kemudian kembali pulang  ke Talang Mamak,” tutur Teha.

Selain itu, faktor ekonomi juga semakin mempersulit anak Suku Talang Mamak. Mayoritas warga Suku Talang Mamak mencari nafkah dengan menoreh karet , berburu, mengumpulkan rotan, berladang, mencari madu. Mereka tidak memiliki pasar khusus untuk menjual hasil bumi mereka sehingga masih di sekitar Talang mamak saja dipasarkan.

Kondisi jalan yang tidak memadai turut mempersulit akses menuju sekolah. (credit title: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)

Pembelajaran jarak jauh saat pandemik Covid-19

Meluasnya pandemi Covid-19 saat ini mengharuskan seluruh proses pembelajaran dilakukan secara daring. Tak terkecuali di Kabupaten Indragiri Hulu, yang terdapat kasus terkonfirmasi positif Covid-19.

Pembelajaran yang diterapkan di Suku Talang Mamak memiliki perbedaan dalam penerapan belajar mengingat tidak semua orang tua anak di Talang Mamak memiliki telepon genggam, ditambah kendala sinyal yang cukup sulit. Bagi orang tua yang mampu menggunakan telepon pintar untuk mengonfirmasi tugas, maka tugas dikirimkan melalui pesan WhatsApp.

“Bagi orang tua yang tidak dapat mengonfirmasi tugas melalui Whatsapp, dapat mengambil tugas sekolah setiap hari Senin untuk tugas selama satu pekan. Masalah ekonomi juga menjadi kendala, tidak semua orang tua yang memiliki telepon pintar lengkap dengan kuota internet. Penerapannya tidak selalu berjalan lancar, ada sebagian orang tua yang belum sadar akan pentingnya tetap menerapkan pembelajaran meski dilanda pandemi. Terlalu lama mengistirahatkan anak untuk tidak belajar dalam waktu yang cukup lama akan membuat anak jadi malas belajar. Selain itu, kami selaku guru diharuskan dinas terkait untuk mengolah nilai. Bila siswa tidak mengerjakan tugas bagaimana kami bisa membuat penilaian? Hingga saat ini masih ada orang tua yang sama sekali tidak menghiraukan tugas dari sekolah,” jelas Kamaruddin selaku guru di Sekolah Dasar Negeri 17 Suku Terasing.

Solusi pembelajaran jarak jauh selama pandemi

Rita Pranawati selaku Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan, “Pembelajaran jarak jauh saat pandemi harus didukung semua pihak mulai orang tua, guru, lingkungan sekitar, dan pemerintah. Jangan ambil risiko untuk mengadakan sekolah tatap muka. Kita tidak bisa menjamin sepenuhnya kalau zona hijau akan tetap aman. Untuk kebutuhan pembelajaran jarak jauh, kami harap ada solusi terbaik seperti bantuan kuota atau membuat beberapa titik hot spot yang bisa digunakan untuk mengakses internet bagi siswa dan guru”.

Pembelajaran jarak jauh yang dijalankan saat pandemi membutuhkan jaringan internet. Dalam hal ini menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan kuota gratis bagi guru, murid, mahasiswa, dan dosen. Nadiem telah mengamankan dana sebesar 7,2 Triliun yang akan digunakan untuk memberikan pembelajaran jarak jauh daring.

Hal ini disambut baik oleh banyak pihak terutama siswa yang membutuhkan banyak kuota untuk belajar. “kami senang sekali bila ada bantuan kuota dari pemerintah, kami bisa menghemat pengeluaran untuk membeli kuota internet yang penting sinyalnya ada di sini karena tidak semua provider bisa digunakan di sini,” jelas Alif salah satu orang tua yang tinggal di lingkungan Talang Mamak.

Berbeda halnya dengan siswa yang tidak memiliki telepon pintar, mereka acuh dengan bantuan kuota internet dari pemerintah. “Bantuan apa kuota itu? saya kurang paham, juga tidak punya telepon genggam,” jelas Daru salah satu siswa di Talang Mamak sambil termangu saat mengungkapkan kebingungan dengan rencana bantuan pemerintah.

Ade Hartati Rahmat, anggota Komisi V DPRD Riau juga menekankan, “Bantuan kuota internet tersebut harus dipastikan benar oleh Pemerintah Provinsi Riau apakah di daerah memiliki jaringan internet yang stabil? Juga harus dipastikan bahwa siswa di daerah juga memiliki telepon genggam yang memadai untuk pembelajaran jarak jauh. Kemudian bila dibuat beberapa titik hot spot, harus dipastikan juga ada kesepakatan dengan pihak provider untuk menjamin jaringan internet di daerah memadai. Yang tak kalah penting adalah guru, apakah guru sudah menguasai fasilitas atau aplikasi yang digunakan  untuk pembelajaran itu”.

Pemerintah menjanjikan bantuan kuota internet selama empat bulan ke depan. Bila bantuan kuota internet itu terhenti, yang bisa diharapkan adalah hot spot internet yang mungkin akan dibuat di beberapa titik, itupun hanya bisa diakses siswa yang memiliki telepon pintar.

“Dulu pernah kami mengusulkan ke sekolah agar guru sekolah sesekali melakukan pembelajaran tatap muka di rumah siswa dengan jumlah orang yang dibatasi, atau sekedar mengantarkan tugas bagi siswa yang orang tuanya tidak pernah mengambil tugas ke sekolah, namun pihak sekolah tidak bersedia,” papar Alif.

Liputan ini didukung oleh AJI Indonesia bekerjasama dengan USAID.

Artikel ini pertama kali terbit di amirariau.com

avatar

Redaksi