“Si Paling Intelektual” Dalam Bahaya

Inovasi

July 8, 2025

Jon Afrizal

Universitas-universitas di Indonesia dalam peta RI2. (credits: lmeho)

SEBANYAK 14 universitas di Indonesia, tentu saja universitas terkemuka, “diragukan” hasil penelitiannya di dunia internasional, berdasarkan skorsing RI2. Keraguan ini, sangat terkait dengan integritas dari hasil penelitian universitas-universitas itu.

RI2, yakni metrik komposit pertama di dunia yang didasarkan pada pengalaman dan dirancang untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko tingkat institusional terhadap integritas penelitian, telah menempatkan Indonesia pada urutan ke-13 di Asia Timur dan Pasifik.

Tentu saja, ini bukan prestasi yang membanggakan.

Sebanyak lima universitas di Indoensia masuk zona “Red Flag” karena: anomali ekstrem dan risiko integritas sistemik.

Yakni; Universitas Bina Nusantara (0.609), Universitas Airlangga (0.414), Universitas Sumatera Utara (0.400), Universitas Hasanuddin (0.349), dan, Universitas Sebelas Maret (0.317).

Lalu, sebanyak tiga universitas masuk daftar “High Risk” karena penyimpangan signifikan dari norma global.

Yakni; Universitas Diponegoro (0.220), Universitas Brawijaya (0.219), dan Universitas Padjadjaran (0.198).

Kemudian, sebanyak delapan universitas masuk kelompok “Watch List”, dengan resiko cukup tinggi dan kekhawatiran yang muncul.

Yakni; Universitas Diponegoro (0.220), Universitas Brawijaya (0.219), Universitas Padjadjaran (0.198), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (0.168), Universitas Indonesia (0.154), Institut Teknologi Bandung (0.120), Institut Pertanian Bogor (0.119), dan, Universitas Gadjah Mada (0.117).

Score universitas-universitas di Indonesia menurut RI2. (credits: lmeho)

RI2 dikembangkan oleh Profesor Lokman Meho dari Universitas Amerika di Beirut.

RI2 dibuat sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran tentang bagaimana pemeringkatan universitas global memberi insentif pada penerbitan berbasis volume dan kutipan dengan mengorbankan integritas ilmiah.

RI2 mengevaluasi institusi berdasarkan dua indikator independen yang dapat diverifikasi.

Pertama, “R Rate” berdasarkan jumlah artikel yang ditarik per 1.000 publikasi, yang menangkap bukti pelanggaran metodologi, etika, atau kepengarangan yang serius.

Dan, kedua, “D Rate” berdasarkan persentase publikasi institusi yang muncul di jurnal yang baru-baru ini dihapus dari Scopus atau Web of Science karena gagal memenuhi standar kualitas atau penerbitan.

Penetapan score dalam RI2. (credits: lmeho)

Indikator-indikator ini dinormalisasi dan dirata-ratakan untuk menghasilkan skor 0-1, yang menempatkan setiap institusi ke dalam satu dari lima tingkatan risiko, sejak dari Red Flag hingga Low Risk, berdasarkan kelompok referensi tetap dari 1.000 universitas dengan jumlah penerbitan terbanyak di seluruh dunia.

RI2 menjadi penting seiring dengan peringkat tradisional yang menekankan produktivitas dan volume kutipan, seringkali mengabaikan praktik yang dipertanyakan.

Seperti; menerbitkan di jurnal predator atau yang dihapus dari daftar, menggelembungkan output melalui multi-afiliasi, memanipulasi kutipan melalui kutipan mandiri dan jaringan timbal balik, dan mendelegasikan kepemimpinan intelektual kepada penulis eksternal.

RI2 mengalihkan fokus dari kuantitas ke integritas, menawarkan alat yang konservatif, transparan, dan memiliki tolok ukur global yang menyoroti kerentanan struktural yang sering terlewatkan oleh metrik arus utama.

Jadi, ketimbang misuh misuh, lebih baik mulai menggunakan RI2.

Dengan tujuan untuk digunakan oleh universitas yang ingin menilai dan memperkuat tata kelola penelitian, lembaga pemeringkat yang ingin menggabungkan perlindungan berbasis integritas, penyandang dana dan regulator yang mengevaluasi keandalan dan risiko institusional, dan jurnalis, pengawas, dan akademisi yang berkomitmen untuk meningkatkan akuntabilitas ilmiah.

Sebab, platform RI2 terus diperbarui berdasarkan umpan balik pengguna dan praktik terbaik yang terus berkembang. Pengguna dapat menjelajahi peta dunia RI² interaktif, yang menampilkan skor rata-rata RI2 menurut negara untuk memvisualisasikan tren geografis dalam risiko integritas penelitian.

Pembaruan, selanjutnya, akan dirilis pada bulan Desember 2025. Dan, apakah masih di tempat yang sama, atau malah makin semakin saja?

Lantas, masih terbuka pertanyaan, tentang bagaimana dengan skorsing universitas-universitas di Indoensia yang tidak dimasukan atau termasuk ke dalam skorsing RI2. Lebih parahkah?

Ternyata, oh, ternyata, penelitian dan menulis penelitian ilmiah tidaklah gampang.*

avatar

Redaksi