Impor Sampah Plastik, Bagaimana?

Lingkungan & Krisis Iklim

April 22, 2025

Zachary Jonah

Tumpukan sampah plastik di Maldiva. (credits: worldbank)

SEBANYAK 252.000 ton sampah plastik dari luar negeri masuk ke Indonesia pada tahun 2023 lalu. Padahal, sebanyak 70 persen sampah yang ada di Indonesia belum terkelola dengan baik. Demikian, mengutip Greenpeace Indonesia.

Ini, tentu saja, menjadi pertanyaan besar. Bahwa, “Bagaimana mungkin negara-negara maju menjadi sebegitu tidak majunya dalam mengelola sampah plastik?”

Perdagangan limbah plastik global seringkali dipromosikan secara keliru sebagai peluang ekonomi. Sementara negara berkembang menanggung beban limbah plastik yang berdampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan.

Selain itu, ancaman ekonomi ini juga merusak aspirasi inisiatif seperti ASEAN Vision 2045, yang bertujuan untuk pertumbuhan hijau, aksi iklim, urbanisasi berkelanjutan, dan solusi berbasis alam.

Mengutip Plastic Investment Tracker, lebih dari 82 persen dari total investasi swasta dalam sirkularitas plastik secara global disalurkan ke solusi hilir. Angka ini setara dengan USD 155 miliar.

Sementara solusi seperti isi ulang dan penggunaan kembali, yang dirancang untuk mengurangi konsumsi plastik, hanya mempunyai alokasi sebesar USD 8 miliar atau sekitar 4 peresn saja.

Penyu yang terjebak di jaring, dengan isi sampah plastik. (credits: theoceancleanup)

Pencemaran plastik mengancam potensi ekonomi laut yang sangat besar. Dengan proyeksi kerugian mencapai PDB sebesar USD 3 triliun pada tahun 2030, atau sekitar 5 persen dari PDB global.

Sementara, di kawasan Asia Pasifik, sektor kelautan memiliki peran penting dalam perekonomian, berkontribusi besar terhadap akuakultur, perikanan, dan perdagangan global. Namun, akibat polusi plastik, kawasan ini juga mengalami kerugian ekonomi sebesar USD 19 miliar di 87 negara pesisir.

Global Plastic Treaty (Perjanjian plastik global) tentu harus memuat target mengurangi produksi polimer plastik primer (PPP).

Target ini harus disertai dengan mekanisme finansial yang kuat yang menyediakan anggaran baru, mengalokasikan sumber daya sesuai dengan hirarki pengelolaan sampah, dan membuat para pencemar membayar biayanya, misal melalui mekanisme EPR.

Sementara, target global adalah untuk mengurangi produksi plastik, yaitu dengan mengadvokasi pengurangan sebesar 40 persen pada tahun 2040, atau setidaknya target yang selaras dengan 1,5 derajat.

Greenpeace mendesak negara-negara ASEAN untuk meratifikasi amandemen Konvensi Basel yang telah berusia 30 tahun. Dimana, perjanjian AS terkait pergerakan dan pembuangan limbah berbahaya, untuk membatasi aliran sampah plastik ke negara-negara berkembang.

Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5) atau perundingan perjanjian plastik global berlangsung di Busan, Korea Selatan pada November 2024. Perundingan global ini diharapkan menjadi pertemuan pamungkas bagi negara-negara di dunia untuk menyepakati target pengurangan produksi plastik secara global.

Di Indonesia sendiri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan “Roadmap pengurangan sampah 2020-2029”.

Berdasarkan roadmap ini, maka produsen perlu menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen. Ini, jika dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah di tahun 2029.

Ilustrasi daur ulang plastik. (credits: SDG)

Jika Indonesia mengadopsi Global Plastics Treaty, maka perlu kebijakan yang lebih ambisius dan mengikat untuk berkontribusi pada target pengurangan produksi plastik secara global.

Di Indonesia, mengutip thecirculateinitiative, pemulung (pekerja sektor limbah informal) memainkan peran penting dalam pengelolaan sampah plastic. Mereka mengumpulkan sekitar 1 juta ton limbah per tahun.

Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia bertujuan untuk mengurangi limbah sebesar 30 persen dan puing-puing laut plastik sebesar 70 persen. Ini, tentunya, adalah target ambisius yang tidak dapat dipenuhi tanpa kontribusi sektor informal.

Sehingga, Global Plastic Treaty pun diharap mampu membuat target global untuk penurunan produksi plastik, dan membuat pencemar menanggung biayanya. Juga mendorong terciptanya solusi sistem penggunaan kembali dan pendaur ulang.*

avatar

Redaksi