Lobster Dan Sampah, Jadi Ancaman Bagi Danau Kerinci
Ekonomi & Bisnis, Lingkungan & Krisis Iklim
March 21, 2023
Junus Nuh, Sungaipenuh
SAMPAH plastik bekas dan lobster telah menjadi ancaman nyata bagi kelestarian habitat ikan di Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci. Sebagai tempat pariwisata, keindahan alam juga harus tetap terjaga.
Danau seluas 4.200 hektare ini adalah”spot” bagi warga sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Sayangnya, tangkapan mereka terus menurun akibat dua persoalan itu.
Warga biasanya menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Tetapi lebih dari 50 persen isi jaring mereka adalah sampah plastik.
“Kondisi ini sangat merugikan kami,” kata Yusman, wargar Kecamatan Keliling Danau belum lama ini.
Para nelayan telah lama membahas persoalan ini. Tetapi, mereka tidak mendapatkan solusi atas permasalahan ini.
Asnadi, nelayan dari Kecamatan Danau Kerinci menyebutkan bahwa hasil tangkapan mereka berkurang drastis.
“Sebelumnya, kami mendapat 50 kilogram ikan jenis lokal, seperti barau, mujair dan seluang. Sejak lima tahun terakhir ini, hanya 3 kilogram per hari saja,” katanya mengeluh.
Ketua Lembaga Advokasi Hak Adat Rakyat (Lahar) Moesnadi Munir mengatakan kondisi ini terjadi karena tidak adanya aksi yang tegas dari pemerintah terhadap Danau Kerinci
Juga termasuk memberikan pemahaman kepada penduduk setempat tentang ekologi.
Air di Danau Kerinci, katanya, berasal dari sungai-sungai seperti Batang Merao dan Batang Merangin. Tetapi, sungai-sungai itu juga membawa sampah plastik ke Danau Kerinci.
Persoalan lain yang juga dihadapi para nelayan adalah berkurangnya bibit-bibit ikan lokal di Danau Kerinci. Seperti Ikan Semah (Tor sp), yang secara umum disebut Ikan Dewa, dan telah di-relief-kan di Candi Borobudur.
Persoalan pun harus dirunut jauh sebelum saat ini. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahan Belanda menebarkan tumbuhan enceng gondok di Danau Kerinci. Tujuannya agar air danau menjadi jernih dan dapat digunakan untuk kebutuhan air bersih.
Tetapi, enceng gondok malah menutupi bagian danau. Sehingga, pada tahun 1980-an, pemerintah Provinsi Jambi pun berinisiatif menebar benih ikan koan. Ikan eksotik ini, dan bukan ikan endemik, diharap mampu memberantas enceng gondok.
Tetapi, rantai makanan ikan-ikan kecil dan endemik di Danau Kerinci menjadi berkurang. Sebab enceng gondok yang dimakan ikan koan pun turut menghilang biota air yang menjadi sumber makanan ikan endemik.
Persoalan berkurangnya ikan endemik ini pun dicoba untuk diantisipasi pada delapan tahun lalu. Pemkab Kerinci pun sering menebar benih ikan endemik di Danau Kerinci.
Hasil tangkapan nelayan pun mencapai masa keemasannya, yakni 50 kilogram ikan per hari.
Namun, pada waktu yang bersamaan, ada pihak-pihak yang membuat berkeramba ikan dan lobster. Persoalan kembali terjadi, sebab pakan ikan di kerambah adalah pakan pelet, yang sisanya mengendap ke dasar danau.
Sama seperti yang terjadi di beberapa danau di Kota Jambi yang menggunakan kerambah ikan pada tahun 2000-an, maka ketika hujan turun, suhu air danau pun berubah, dan menyebabkan ikan-ikan mengapung seperti mabuk.
Sementara itu, terdapat kerambah udang lobster yang jebol. Akibatnya, udang lobster pun bebas berada di dasar danau, dan terus berkembang hingga hari ini.
Efek lanjutannya, udang lobster pun memangsa ikan-ikan kecil dan udang kecil. Lagi dan lagi, berpengaruh pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Asnadi mengatakan pada saat ini mereka hanya mendapatkan udang kecil sebanyak 3 ons per hari. Padahal, udang kecil ini harganya mencapai Rp 80.000 per kilogram.
Selanjutnya, pemerintah pun menebar benih ikan jelawat dan ikan nilem. Kedua jenis ikan ini adalah endemik Sungai Batanghari.
Tetapi, Ikan Dewa seperti terlupakan. Ikan Semah biasa juga disebut “Ikan Hidangan Para Raja”. Ikan yang mendapat julukan “Kings of Rivers” ini berawal hidup di huluan sungai dengan katupan hutan yang lebat seperti sungai-sungai Batang Merao dan Batang Merangin.
Ikan ini kemudian mengikuti arus dan menyusur hingga ke Danau Kerinci. Ikan ini panjangnya sekitar 20 centimeter dengan berat sekitar 8 gram.
Tetapi, bahkan ada yang memiliki panjang 120 centimeter dengan berat 20 kilogram. Daging yang gurih dan bahkan sisiknya pun garing dan nyaman di lidah.
Beberapa rumah makan di Kota Sungai Penuh dan sekitarnya menjadikan Ikan Semah sebagai hidangan utama. Terkadang, pembeli harus memesan terlebih dahulu. Jika tidak ingin kehabisan.
Ikan Semah diolah dengan cara digulai. Beberapa lainnya mencoba untuk menghidangkan dengan cara dibakar. Harganya, tentu saja mahal. Sekitar Rp 50.000 per satu ekor ikan Semah.
Ini belum terhitung jika diekspor. Satu kilogram ikan Semah nilainya mencapai Rp 5 juta. Tentu saja sebuah harga yang pantas untuk ikan dengan sebutan “Ikan Hidangan Para Raja”.
Keberadaan Ikan Semah tentu saja tidak terlepas habitat yang baik. Jika sampah plastik dan udang lobster terus bertambah, maka Ikan Dewa pun terus menurun populasinya.
Begitu juga jika hutan yang ada, dalam konteks ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terus dibuka dan ditebangi.*