Melacak “Kebiasaan Buruk” Korupsi Di Indonesia

Daulat

March 6, 2025

Farokh Idris

T-shirt yang bertuliskan ungkapan sindiran terhadap tindakan korupsi di Indonesia. (credits: shopee)

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur ​​itu sulit diperbaiki.” Bung Hatta

INGGRIS membutuhkan waktu selama 150 tahun untuk melawan korupsi. Banyak cara dilakukan untuk memenangkan perang melawan korupsi.

Seperti; pembentukan lembaga pengawas keuangan negara, pelibatan sektor swasta untuk menjalankan fungsi layanan publik, reformasi sektor peradilan, dan birokrasi dengan menaikkan upah mereka secara signifikan. Juga, menerapkan larangan penerimaan gratifikasi di kalangan hakim, mengurangi biaya gugatan untuk menekan penyimpangan hukum dan penerapan kode etik hakim yang mampu menciptakan lembaga kehakiman sebagai institusi yang terpercaya dan kredibel.

Demikian yang dinyatakan Peter Carey dan Suhardiyono Haryadi dalam buku “Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi”.

Berdasarkan kajian kritis buku ini, korupsi umumnya, akan diperangi dengan serius jika telah menjadi ancaman nyata bagi eksistensi negara. Seperti di Inggris, pemberantasan korupsi dimulai dari sebuah keterpaksaan karena keadaan yang mengharuskan.

Sementara dalam konteks Indonesia, korupsi pada pemerintahan kolonial yang didesentralisasi, misalnya, dapat dirujuk pada praktek suap yang telah terjadi secara massif yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial di Pantai Timur Laut Jawa sebelum pemerintahan Daendels. Sehingga, penghapusan kebijakan desentralisasi oleh Daendels dianggap sebagai langkah untuk mengurangi praktek suap yang merajalela.

Setelah hampir 25 tahun pernyataan Perang Melawan Korupsi di Indonesia, kenyataannya, masih seperti yang dinyatakan Peter Carey. Dimana, menurutnya, birokrat daerah masih sebagai feudal-aristokrat, karena relasi atasan-bawahan yang kaku, bahkan di lembaga pendidikan sekalipun.

B. Herry Priyono dalam bukunya “Korupsi Melacak Arti, Menyimak Implikasi” menyatakan bahwa kata korupsi berasal dari bahasa Latin. Terdapat beberapa penyebutan; corruptio (kata benda) yang berarti hal merusak, corrumpere (kata kerja): merusak/menghancurkan, corruptor (kata benda): perusak/pelanggar; pelaku korupsi, dan corruptus-a-um (kata sifat): rusak/hancur.

Mengutip KPK, secara hukum, korupsi adalah tindak pidana melawan hukum sebagaimana disebut dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Tidak hanya di Indonesia saja, mengutip kemenkeu, korupsi telah ada dari sejak peradaban mesir kuno, Babilonia, Yunani, Cina serta Romawi.

Patung Bung Hatta di Bukittingi, Sumatera Barat. Ia adalah negarawan Indonesia yang dikenal dengan kejujurannnya. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

Catatan Babilonia menyebutkan bahwa perilaku koruptif mencapai puncaknya sekitar tahun 1200 Sebelum Masehi (SM). Perilaku ini melibatkan para pejabat pemerintahan.

Raja Hammurabi yang memerintah Babilonia, lalu, membuat aturan perundangan-undangan yang dikenal dengan Code of Hammurabi yang dibuat pada tahun 1755 – 1750 SM. Ini adalah prasasti ini dengan tinggi 2,25 meter, yang dituliskan dalam bahasa Akkadia.

Prasasti itu berisi 282 peraturan mengenai berbagai ketentuan; semisal undang-undang perdagangan, perbudakan, penuduhan, ganti rugi kerusakan, pencurian dan hubungan keluarga.

Lantas, apakah korupsi adalah budaya turun-temurun?

Masih mengutip kemenkeu, “budaya” adalah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Buddhaya, sebagai kata jamak dari kata Buddhi. Yang artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal manusia.

Berdasarkan definisi ini, maka, budaya adalah perilaku positif yang berasal dari akal budi manusia. Sehingga, perilaku yang dihasilkan oleh budaya akan memiliki unsur kebaikan dan memberikan manfaat untuk manusia.

Jika melihat korupsi yang penuh dengan daya rusaknya, maka korupsi tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Atau, dapat dinyatakan bukanlah kebiasaan yang dihasilkan dari budi pekerti.

Negarawan Bung Hatta pernah berkata, “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur ​​itu sulit diperbaiki.”

Maka, setelah mencari akar masalah korupsi di Indonesia, mengutip antikorupsi, terdapat tiga cara untuk memberantas korupsi yang kini tengah mewabah.

Yakni; harus ada inisiatif program ataupun kebijakan antikorupsi yang secara sistematis diimplementasikan oleh pemerintah.

Lalu, tidak mengkerdilan definisi korupsi sehingga menormalisasi konflik kepentingan, anti meritokrasi, dan nepotisme yang berimplikasi terhadap rusaknya sistem demokrasi dan hukum antikorupsi Indonesia.

Terakhir, munculnya keinginan pemerintah untuk mengakselerasi pemberantasan korupsi melalui penguatan regulasi, diantaranya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.

Semuanya, dikembalikan kepada pemerintah.*

avatar

Redaksi