“Judi Online Dan Online Scam” Jadi Penghasilan Baru?

Ekonomi & Bisnis

December 18, 2024

Muhammad Al Fikri

WNI banyak yang secara sadar bekerja di sektor judi online dan online scam. (credits: pexels)

KAMBOJA, Myanmar, Laos, dan Filipina adalah negara yang kini menjadi lokasi utama dari kejahatan judi online dan penipuan online. Malangnya, banyak WNI yang secara sadar ingin bekerja di sektor ini, karena alasan: gaji yang tinggi.

“Saat ini kami melihat ada semacam normalisasi, dimana judi online dan online scam menjadi semacam bentuk mata pencaharian baru,” kata Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha pada duskusi bertajuk “Korupsi dan Kejahatan Siber: Membedah Skema Penipuan dan Judi Online”, di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jakarta, Jum’at (13/12).

Menurut Judha, umumnya, WNI secara sadar memilih kedua pekerjaan ini. Sebab dari 5.111 kasus yang terdeteksi, hanya 1.290 kasus dinyatakan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Korban TPPO mayoritasnya berasal dari Provinsi Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.

Judha mengatakan kasus pertama yang tercatat adalah pada tahun 2020, yakni sebanyak 15 kasus. Namun, jumlahnya justru melonjak drastis menjadi 5.111 kasus pada tahun 2024.

Sementara itu, Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Danang Tri Hartono, menyebutkan bahwa perputaran transaksi terkait judi online menunjukkan trend lonjakan tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Tindak pidana penipuan berupa money laundering terus terjadi sebagai akibat lanjutan dari online dan online scam. (credits: pexels)

Data PPATK menyebutkan, pada 2021 transaksi judi online mencapai IDR 57,91 triliun, dan meningkat menjadi IDR 104,42 triliun pada 2022. Sementara pada 2023 nilainya melonjak lebih dari tiga kali lipat menjadi IDR 327,05 triliun, dan hanya dalam semester pertama 2024, angkanya telah mencapai IDR 174,56 triliun.

Lonjakan ini memperlihatkan skala kejahatan yang semakin meluas, dan didukung oleh metode pencucian uang yang semakin kompleks. Agartak ketara, dana-dana hasil transaksi ini sering kali di-laundering dengan skema seperti: money changer dan cryptocurrency.

“Tujuannya agar sulit dideteksi oleh otoritas,”kata Danang.

Crypto, katanya, bukan hanya untuk trading saja. Tetapi juga memfasilitasi transaksi perjudian online.

PPATK juga mengidentifikasi jumlah pemain judi online di Indonesia juga meningkat tajam, dari 3,4 juta pejudi pada 2023, dan meningkat menjadi 8,8 juta pejudi pada 2024. Adapun modusnya adalah melibatkan penyalahgunaan rekening.

“Deposit menggunakan akses rekening, ketika diperiksa, ternyata rekening itu atas nama seseorang, dan ternyata sudah dijual ke orang-orangnya bandar,” katanya.

Artinya, katanya, ada orang yang spesialisasi mencari nomor rekening untuk dipakai deposit.

Secara hukum, yang mengkoleksi rekening dapat dipidanakan. Tetapi, yang menjual rekening belum tersentuh hukum. Terlebih, kebanyakan yang menjual masyarakat kelas ekonomi lemah.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyoroti bagaimana korupsi di institusi penegak hukum turut memperburuk situasi. Aparat negara, katanya, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan ini, kerap ditemukan terlibat atau mendukung praktik ilegal tersebut.

“Ini tidak hanya melemahkan penegakan hukum, tetapi juga memperkuat jaringan kejahatan yang ada,” katanya.*

avatar

Redaksi