Status Tersangka Pencabulan Di Singkawang Sah Secara Hukum

Hak Asasi Manusia

October 30, 2024

Nkomo A Gogo

Ilustrasi Crime Against Children. (credits: livelaw)

GUGATAN praperadilan status tersangka HA digelar di PN Singkawang, Senin (28/10). Hakim tunggal Muhammad Musashi menyatakan menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh HA melalui kuasa hukumnya.

Sehingga, penetapan status tersangka terhadap HA, seorang public figure di Kota Singkawang, adalah sah secara hukum. Demikian mengutip penjelasan dalam video singkat dari akun @yokalbarcom.

Sebelumnya, Roby Sanjaya, kuasa hukum korban kasus persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, menyampaikan keyakinannya bahwa hakim akan menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan oleh HA. Demikian press release yang diterima redaksi Amira, Jumat (25/10).

Setelah sidang praperadilan yang berlangsung pada hari Jumat, 25 Oktober 2024, dengan agenda kesimpulan dari para pihak, Roby Sanjaya mengatakan bahwa Polres Singkawang telah bertindak sesuai prosedur dalam penetapan tersangka HA.

“Berdasarkan fakta persidangan, Polres Singkawang memiliki lebih dari dua alat bukti yang sah. Yaitu saksi mata, saksi ahli, hasil visum, serta keterangan korban,” katanya.

Dalam kasus kekerasan seksual dan perlindungan anak, menurutnya, keterangan korban juga diakui sebagai alat bukti yang kuat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Penetapan tersangka, katanya, tidak dilakukan secara prematur seperti yang dituduhkan oleh pihak tersangka. Proses penyelidikan telah dilakukan dengan cermat, dimulai dari laporan resmi yang disampaikan oleh Kantor Hukum Roby Sanjaya, SH & Partners pada tanggal 3 Juni 2024.

“Penetapan tersangka baru dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2024, setelah Polres Singkawang melakukan penyelidikan selama dua bulan. Ini menunjukkan bahwa penetapan tersangka dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang lebih dari cukup,” katanya.

Dalam kesimpulannya, kuasa hukum HA juga membantah bahwa tindakan persetubuhan dan cabul terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh tersangka merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Menanggapi hal ini, Sanjaya menyebutkan bahwa pernyataan tersebut sangat tidak berdasar dan tidak sesuai dengan hukum.

“Tindakan kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur jelas-jelas termasuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga bantahan tersebut mengada-ada dan tidak dapat diterima,” katanya.

Selama proses persidangan, kuasa hukum tersangka banyak membahas hal-hal yang terkait materi pokok perkara, bukan fokus pada alat bukti yang relevan sesuai dengan Pasal 184 KUHAP terkait penetapan tersangka.

“Praperadilan seharusnya hanya membahas keabsahan alat bukti, bukan materi pokok perkara. Polres Singkawang sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan prosedural, mulai dari penyelidikan hingga penetapan tersangka berdasarkan bukti yang ada,” kataya.

Berdasarkan seluruh fakta yang terungkap selama persidangan, Roby Sanjaya, SH, dan timnya yakin bahwa hakim akan menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukan oleh HA.

“Proses hukum ini diharap dapat memberikan keadilan bagi korban dan menguatkan komitmen terhadap perlindungan anak di bawah umur dari tindak kekerasan seksual,” katanya.

Sementara itu, mengutip Kompas, Plh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Heryawan (Aher) mengatakan PKS sama sekali tidak memberi toleransi terhadap tindakan asusila, kejahatan seksual dan kekerasan seksual.

Pihaknya memutuskan untuk memecat kadernya, HA, yang dilantik sebagai anggota DPRD Singkawang padahal berstatus sebagai tersangka pencabulan anak.

Aher menegaskan tim hukum PKS telah memecat HA.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kalimantan Barat, Herkulana Mekarryani mengatakan pihaknya memastikan proses penyidikan dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yakni Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang “Perlindungan Anak”, dan Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang “Tindak Pidana Kekerasan Seksual”.

“Meskipun pelaku merupakan tokoh masyarakat, hal tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk menghentikan proses hukum. Kasus persetubuhan anak, terlebih yang dilakukan dengan ancaman, adalah kejahatan serius yang melanggar hak anak dan hak asasi manusia,” katanya, mengutip Pontianak Post.

Anggota DPRD Singkawang, HA dilaporkan ke kepolisian karena diduga melakukan pencabulan pada anak berusia 13 tahun, Kamis (11/7).

Namun, HA masih dilantik sebagai anggota DPRD. Meskipun tersandung kasus pencabulan anak.

Menurut laporan ibu korban kepada Polres Singkawang, HA diduga melakukan pelecehan seksual sebanyak dua kali sekitar bulan Juli 2023. Dalam dokumen pelaporan tercatat, pencabulan itu terjadi pertama kali di indekos milik HA.

HA disebut memaksa untuk melakukan persetubuhan dan mengancam akan menagih utang indekos orangtua korban. Pada 1 Maret 2024, HA dilaporkan kembali melakukan aksinya, tetapi akhirnya ditolak oleh korban.*

avatar

Redaksi