Penyelesaian Konflik Agraria Di Jambi, Pemerintah Katakan “Akan”
Hak Asasi Manusia
September 25, 2024
Jon Afrizal/Kota Jambi
Satu tuntutan petani di Hari Tani, Di Kota Jambi, Selasa (24/9). (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
PERINGATAN Hari Tani Nasional (HTN) di Jambi pada Selasa, 24 September 2024 diikuti oleh serikat petani dan kelompok-kelompok yang peduli dengan perjuangan petani, yang tergabung dalam Gerakan Suara Tuntutan Rakyat (Gestur) Jambi.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, ketimpangan penguasaan tanah, dan lemahnya upaya penyelasaian konflik agrarian, telah membuat petani semakin terpuruk.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, menyebutkan telah terjafdi sebanyak 17 letusan konflik agraria di Provinsi Jambi sepanjang tahun 2023. Konflik agraria itu terjadi di luasan 23.120 hektare, dan menyebabkan 6.247 kepala keluarga (KK) terdampak.
“Letusan konflik terbanyak adalah di sektor perkebunan, sebanyak 13 konflik. Dan dilanjutkan di sektor kehutanan sebanyak dua letusan konflik, serta sektor properti sebanyak dua letusan konflik,” kata Koordinator KPA Wilayah Jambi, Fransdodi Tarumanegara, Selasa (24/9).
Kebijakan untuk memberi ruang kepada “investasi dan mendatangkan investor” yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, katanya, telah menghilangkan hak atas sumber penghidupan bagi masyarakat, terutama hak atas tanah.
“Pemerintah seolah melupakan keberadaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dan mengesahkan Undang-Undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” katanya.
Undang-Undang Cipta Kerja ini, katanya, adalah alat legitimasi bagi pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada para pengusaha dan investor. Yang, pada hakikatnya, adalah merampas tanah rakyat.
“Kembalikan kedaulatan harus dikembalikan kepada rakyat. Dan selesaikan seluruh persoalan rakyat, tata kuasa atas sumber sumber kehidupan harus diatur ulang,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Abdullah.
Jika itu telah dilakukan, maka, baru dapat berbicara soal kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari Tani Nasional (HTN) diperingati pada tanggal 24 September setiap tahunnya. Sebagai hari lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Meskipun, Indonesia kerap menyatakan diri sebagai bangsa agraris, senyatanya, Hari Tani bukanlah hari libur nasional.
Mengacu pada data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.799.280 petani. Sedangkan jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 17.248.181 petani.
Suwandi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, mengatakan bahwa keseriusan pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik agrarian sangat dibutuhkan. Sebab, jumlah konflik agraria di Ptovinsi Jambi tergolong tinggi dan belum selesai, bahkan setelah bertahun-tahun.
Sebanyak sepuluh tuntutan yang diajukan kepada Pemprov Jambi, yakni; selesaikan konflik agraria dan jalankan reforma agraria sejati, tolak bank tanah, tolak Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merugikan petani, cabut UU Cipta Kerja, laksanakan UUPA 1960, dan segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Lalu, bebaskan Ibu Dewita, tindak tegas korporasi pembakar hutan dan lahan, hentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani, buruh, mahasiswa, aktivis agraria, dan aktivis lingkungan, tolak tambang di Jambi, stop impor pangan, dan berantas mafia tanah di Jambi.
Perwakilan petani, pun sempat berdialog dengan Pemprov Jambi. Petani ditemui oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra, Arief Munandar.
Setelah hampir dua jam berdialog, pemerintah pun menghasilkan beberapa poin keputusan.
Yakni; akan berkomitmen dan dilakukan langkah konkrit dalam penyelesaian konflik agraria di Provinsi Jambi, akan dilakukan penegasan kepada Pemerintah Kab/Kota dalam penyelesaian kasus-kasus konflik agraria yang tejadi di Provinsi Jambi, untuk penyelesaian lahan di lokasi transmigrasi akan diproses sesuai aturan berlaku baik melalui proses pembatalan maupun jalur hukum.
Lalu, akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal proses hukum terhadap kasus Ibu Dewita, akan berkoordinasi dengan pihak terkait dan aparat penegak hukum terhadap kriminalisasi kepada petani dan mafia tanah yang melakukan tindak kekerasan kepada petani, dan mendorong pemerintah daerah kabupaten/kota melalui bapak gubernur untuk mempercepat proses penyelesaian konflik agraria.
Selanjutnya, untuk pola kemitraan perlu adanya mekanisme dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan tidak merugikan masyarakat, dan perlu adanya kolaborasi dan kerjasama dalam penyelesaian konlfik agraria dengan melibatkan stakeholder terkait.
Sekian banyak poin itu, adalah saling terkait. Dan, petani, menuntut untuk dapat dilaksanakan, secepatnya.*