Bangsawan Bugis Di Pulau Penyengat

Inovasi

September 20, 2024

Jon Afrizal

Suasana senja di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. (credits: indonesia.travel)

“Raja muafakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.”

BAHASA yang digunakan di Indonesia saat ini, adalah berasal dari bahasa Melayu. Raja Ali Haji, adalah seorang yang meletakan dasar penggunannya, melalui buku “Pedoman Bahasa”.

Raja Ali Haji, lahir pada tahun 1809 di Pulau Penyengat Inderasakti, sebuah pulau kecil di Kota Tanjungpinag, Kepulauan Riau. Pulau berukuran panjang 2.000 meter dan lebar 850 meter, dengan jumlah penduduk 2.500 jiwa.

Raja Ali Haji adalah keturunan Bugis. Ayahnya bernama Raja Ahmad bergelar Engku Haji Tua, dan kakeknya bernama Raja Ali Haji Fisabilillah, yakni Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang.

Raja Ali Haji Fisabilillah adalah juga bangsawan Bugis, saudara dari Raja Lumu.

Fisabilillah adalah keturunan keluarga kerajaan Riau, yang merupakan keturunan dari prajurit Bugis yang datang ke daerah itu pada abad ke-18.

Di usia 13 tahun, Raja Ali Haji merantau ke Pulau Jawa. Tujuannya adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam, terutama ilmu fiqih.

Selain itu, ia pun bergaul dengan para sarjana tamatan negeri Belanda. 

Setelah menuntut ilmu di tanah Arab, ia semakin banyak membaca buku dan menulis.

Beberapa buku yang ia tulis, adalah; Syair Abdul Muluk (1847), Gurindam Dua Belas (1847), dan Tuhfat al-Nafis (1865).

Gurindam Dua Belas adalah karya sastra berbahasa Melayu Klasik. Karya ini memiliki ciri yang khas, yakni banyaknya penggunaan istilah tasawuf, kata-kata kiasan dan metafora.

Karya ini terdiri dari dua belas pasal dan dikategorikan sebagai Syi’r Allrsyadi atau puisi didaktik. Sebab karya ini berisikan nasehat atau petunjuk hidup.

Raja Ali Haji . (credits: wiki)

Diantaranya; tentang ibadah, kewajiban raja, kewajiban anak terhadap orang tua, tugas orang tua kepada anak, budi pekerti, dan hidup bermasyarakat.

Selain itu terdapat pula pelajaran dasar Ilmu Tasawuf tentang mengenal “yang empat”. Yakni; syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat.

Karya ini diterbitkan pada tahun 1854, di Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, dalam huruf Arab dan diterjemahkan dalam Bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Raja Ali Haji mendapat Anumerta sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas kontribusinya pada bahasa, sastra, budaya Melayu, dan sejarah Indonesia. Anumerta itu ditetapkan melalui keputusan Presiden RI No. 089/TK/Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad adalah Pahlawan Nasional, pada tanggal 5 November 2004.

Sebagai seorang keturunan bansgawan bugis, ia pun berkontribusi terhadap budaya tanah asalnya. Karya “Silsilah Melayu dan Bugis” adalah rasa khidmatnya terhadap budaya Melayu dan Bugis, yang ditulis dan diedarkan sejak tahun 1865.

Ia wafat antara tahun 1872-1873, di Pulau Penyengat.

Memang, ia bukanlah prajurit, dan tidak terlibat peperangan dengan Belanda. Seperti nenek buyutnya pada Perang Riau dengan VOC pada tahun 1783 hingga 1784.

Namun, ia telah mencatatkan banyak peristiwa dan kejadian di Riau – Lingga.

Pada Tufat al-Nafīs (1865), atau, disebut sebagai “Hadiah Yang Berharga”, ia telah mencatatkan tentang sejarah awal raja-raja Riau – Lingga. Sejak Sultan Sulaiman dan Daeng Marewa bergelar Yang Dipertuan Muda I Kerajaan Johor-Riau (1722-1728).

Dengan intelektualitasnya pada “Pedoman Bahasa”, telah menjadikan Bahasa Melayu memilki standar dalam penggunaanya.

Wajahnya pun tampil di Google Doodle, pada Sabtu 5 November 2022.*

avatar

Redaksi