Sutardji Membebaskan Mantra

Budaya & Seni

September 18, 2024

Jon Afrizal

Istana Kesultanan Indragiri, yang didirikan oleh raja keempat, Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Nara Singa II yang bergelar Zirullah Fil Alam. (credits: pramuka.uin-suska.ac.id)

“sebelas duri sepi

dalam dupa rupa

tiga menyan luka

mangasapi duka

KATA-KATA, menurut Sutardji Calzoum Bachri, bukanlah alat untuk mengantarkan pengertian. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri.

Kata-kata, sehingga, adalah sesuatu yang bebas.

Mengutip pernyataan Sutarji pada O Amuk Kapak; Tiga Kumpulan Sajak, bahwa kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian dan ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Sehingga, jika kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Sebab kata-kata dapat menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri.

Sutardji, dengan puisi-puisi “pembebasan kata” telah menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang lebih bagi proses penciptaan dan pembacaan puisi di Indonesia.

Sutarji memiliki latar belakang seorang yang terbesarkan dan berada dalam tradisi dan budaya Melayu.

Tarji, panggilan akrabnya, lahir pada tanggal 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau.

Ayahnya, Mohammad Bachri, berasal dari Prembun, Kutoardjo, Jawa Tengah, yang sejak masa remaja merantau ke Riau. Sementara ibunya, May Calzoum berasal dari Pulau Tambelan, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Pulau Tambelan, adalah masuk ke dalam Kecamatan Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Tambelan yang berada di perairan Laut China Selatan.

Pulau Tambelan, sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Pulau Sabda.

Mengutip kepripedia, Sultan Abdullah Muayat Syah, Sultan Johor VII pernah tiba pulau ini pada tahun 1623. Ketika terjadi Perang Riau (1782 – 1784), pulau ini berubah nama menjadi Pulau Tambelan.

Rengat, yang kini masuk ke dalam Kabupaten Indragiri Hulu, dilalui oleh Batang Kuantan (Sungai Indragiri). Penduduk asli daerah ini adalah Suku Melayu. Selain juga terdapat indigenpous people Talang Mamak.

Kota ini, tercatat dalam peta sastra Indonesia. Di sana, ayah kandung Chairil Anwar menjadi bupati semasa Agresi Militer II. Adapun namanya: Tulus.

Kota Rengat, dulu adalah bagian dari Kerajaan Indragiri. Pertama kali, kerajaan ini berpusat di Pekan Tua, yang sekarang sudah menjadi wilayah Indragiri Hilir.

Kerajaan Indragiri berdiri perkiraan tahun 1298, tetapi ada juga yang mengatakan berdiri pada tahun 1347, dengan raja pertamanya bergelar Raja Merlang I yang berkedudukan di Malaka saat itu.

Kerajaan ini berkali-kali berpindah ibukota. Beberapa sumber menyebutkan bahwa istana Kerajaan Indragiri berada di tepi sungai dan dibelakangnya terdapat danau.

Raja Nara Singa II, disebutkan memiliki perahu dengan ukiran naga emas. Terdapat pula, mahluk gaib dibawah perahu itu. Para orangtua menyebutnya sebagai sosok Buaya yang selalu mendampingi raja saat bepergian, melalui jalur sungai.

Karena abrasi, maka istana kerajaan yang berada di tepi sungai itu pun runtuh. Beberapa orangtua menyebutkan cerita lama, bahwa Raja Nara Singa II pernah berkata, “Habisnya kejayaanku maka runtuhlah kerajaanku”.

Dengan latar belakang itu semua, maka, Tarji menciptakan “Kredo Puisi”. Bahwa, menulis puisi, baginya adalah membebaskan kata-kata. Dengan artian mengembalikan kata pada awal mulanya.

“Pada mulanya – adalah Kata. Dan, Kata Pertama adalah Mentera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada Mentera.” Demikian pelopor penyair Angkatan 1970-an ini menyatakan.

Kredo puisi, secara tertulis, dapat dibaca pada Tiga Kumpulan Sajak itu. Bagaimana Tarji membuat kata memilih dirinya sendiri.

Pada awal tulisan ini, adalah penggalan sajak berjudul “Mantera”. Secara lengkap, yakni;

lima percik mawar

tujuh sayap merpati

sesayat langit perih

dicabik puncak gunung

sebelas duri sepi

dalam dupa rupa

tiga menyan luka

mangasapi duka

puah!

kau jadi Kau

Kasihku

Mantra adalah, gaya “bahasa lama” bagi masyarakat Melayu. Susunan kata-kata yang mempersatukan alam manusia dan alam supranatural, melalui perantara dukun.

Mantra, menurut Edi Suwatno dalam Bentuk Dan Isi Mantra, adalah suatu yang sakral, dan mengandung unsur magis.

Sebagai budaya lama, maka Tarji telah mengangkatnya menjadi sebuah karya yang diakui sebagai “bahasa manusia pada umumnya”, yakni dalam cabang: puisi.

Jika pun, puisi-puisi mantra dialihbahasakan ke bahasa lain, maka ia akan tetap menjadi “bahasa manusia”. Meskipun, dalam kondisi tertentu, susunan kata-kata itu bukan melulu berarti: sebagai puisi atau sebagai mantra.

Tetapi, kata-kata adalah menjadi berdiri sendiri. Kata-kata memiliki arti dan makna sendiri.

Atas pemikiranya, ia dijuluki sebagai “Presiden Penyair Indonesia” dan diberi gelar “Datuk Seri Pujangga Utama”.

O Amuk Kapak yang ditebitkan pada tahun 1973 adalah kumpulan pusi yang ia buat pada decade 1966 hingga 1979. Kumpulan puisi ini terdiri dari tiga bagian. Yakni  O (sajak-sajak 1966-1973 sebanyak 27 puisi), Amuk (sajak-sajak 1973-1976 sebanyak 15 puisi) dan Kapak (sajak-sajak 1976-1979 sebanyak 26 puisi).

Selain itu, terdapat kumpulan puisinya yang lain yakni; Atau Ngit Cari Agar (2008), Kucing (1973), Aku Datang Padamu, Perjalanan Kubur David Copperfield, dan Realities Tanah Air.

Puisi-puisinya menjadi “nafas baru” dalam dunia perpuisian Indonesia. Dengan menyentuh ke akar budaya masyarakat Melayu di Indonesia, dan menjadikan mantra sebagai puisi di masa modern.

Sebagai sesuatu yang berangkat dari akar budaya, maka puisi-puisnya menjadi mudah dicerna oleh para pendengar dan pembacanya.

Meskipun, secara jujur, tidak ada yang dapat memahami apa secara lengkap yang ditulis dan dibacakan oleh penyair, selain penyair itu sendiri.*

avatar

Redaksi