Jejak Kadatuan Medang Di Ungaran

Budaya & Seni

July 15, 2024

Jon Afrizal/Ungaran, Jawa Tengah

Sebuah Menhir di Desa Wujil, Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang Jawa Tengah. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)

”… Daerah itu tidak didatangi lagi oleh para pejabat pemungut pajak yang terdiri atas tiga pegawai utama pemungut pajak, yaitu pangkur, tawan, dan tirip; pinghai dan wahuta, serta oleh segenap anggota petugas pemungut pajak dalam waktu yang lama… diikuti dengan penyebutan anggota petugas pemungut pajak… Demikianlah keputusan yang telah ditetapkan, dan selama seluruh pejabat dan petugas pemungut pajak itu tidak diperkenankan untuk mendatangi daerah yang disebut sebagai sima di daerah Mun cang. Hanya kepada Sang Hyang Prasada Kabaktyan di Siddhayoga saja seluruh pajak itu diserahkan…” Prasasti Mun cang.

KEDATUAN Medang (Kerajaan Medang) atau biasa disebut dengan Kerajaan Mataram atau Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi. Kerajaan yang dipimpin oleh wangsa Syailendra dan wangsa Isyana ini mengalami masa kejayaan pada periode antara akhir abad ke-8 dan pertengahan abad ke-9 Masehi.

Bentuk dari sikap agraris itu hingga kini masih berwujud  dalam bentuk hamparan-hamparan sawah milik warga Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Terkait dengan kutipan dari Prasasti Mun cang, sebagai pembuka dari tulisan ini, setiap daerah yang menggantungkan hidup dari pola-pola agraris itu, pada masa Kedatuan Medang, adalah wilayah-wilayah otonom. Dengan sebutan kala itu, sima, wilayah-wilayah itu mengelola wilayahnya sendiri.

Masa kejayaan kerajaan ini ditandai dengan pertumbuhan seni dan arsitektur Jawa klasik. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Mataram juga dikenal sebagai negeri pembangun candi. Seperti; Kalasan, Sewu, Borobudur dan Prambanan.

Bagi pengagum candi, kecamatan ini, mungkin saja masih asing, ketimbang wilayah dimana candi Borobudur dan Prambanan berada, misalnya.

Sugeng Riyanto dari Balai Arkeologi Yogyakarta menyatakan terdata sekitar 12 situs Mataram Kuno di Kabupaten Semarang. Dua situs yang terdekat dengan Kalitaman, adalah Candi Gedongsongo dan Candi Ngempon.

Meskipun situs-situs ini terkesan tidak diperhitungkan, karena berada di luar poros Kedu-Prambanan, tetapi, dapat mengungkapkan keberadaan Mataram Kuno yang berada di lereng Gunung Ungaran.

Seperti sebuah sendang, yang berada di Desa Wujil Kelurahan Bergas Kidul. Sendang adalah mata air yang aliran airnya dengan sengaja dibendung dan dikepung dengan menggunakan tembok atau sejenisnya.

Warga setempat menyebutnya sendang Kalitaman, yang berada di areal perbukitan.

Pegiat warisan budaya menyebut Kalitaman sebagai situs era Mataram kuno, yang berada di luar poros Kedu-Prambanan.

Perjalanan jurnalistik-ku telah membawaku menelusuri lereng-lereng bukit yang dipenuhi dengan rerumpunan bambu. Bersama seorang warga setempat, Wage, kami menyusuri tanah berwarna kuning dengan batu-batu berwarna hitam berbentuk kecil yang terserak di ruas jalan setapak hingga ke dataran paling tinggi.

Beberapa batu hitam yang terbelah, memperlihatkan warna dan tekstur yang sangat mirip dengan batu yang digunakan untuk candi-candi di Pulau Jawa.

Perjalananku ini, berbekal pengetahuan sederhana, bahwa, dimana ada sendang, pasti ada kehidupan. Sebab, tentunya sendang ditemukan dan dibuat oleh manusia.

Mengutip KBBI, sendang adalah kolam di pegunungan dan sebagainya yang airnya berasal dari mata air yang ada di dalamnya, biasanya dipakai untuk mandi dan mencuci.

Selain itu, berdasarkan tuturan penduduk setempat, bahwa pernah diketahui terdapat arca dan sejenisnya di perbukitan ini. Dan, pernah pula diketahui terdapat orang yang memenggal kepala arca untuk dijual.

Tetapi, yang ku temukan, lebih dari itu semua.

Kami menemukan sebuah batu menhir dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan lebar sekitar 4 meter tertancap di puncak yang datar di perbukitan itu.

Menhir adalah batu tunggal, biasanya berukuran besar, yang ditatah seperlunya sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir diambil dari bahasa Celtic, yang berasal dari dua kata; men (batu) dan hir (panjang). Jadi, artinya kira-kira, adalah: batu panjang.

Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar di atas tanah. Tetapi, pada beberapa tradisi terdapat juga menhir yang diletakkan terlentang di tanah.

Menhir, bersama-sama dengan dolmen dan sarkofagus, adalah megalit. Sebagai salah satu penciri utama budaya megalitik, pembuatan menhir telah dikenal sejak periode Neolitikum, yakni sejak 6000 Sebelum Masehi. Menhir tercatat ditemukan di Eropa, Timur Tengah, Afrika Barat, India, Korea, serta Nusantara.

Menhir adalah batu yang disembah oleh manusia pada zaman dulu. Juga, berfungsi sebagai makam dan upacara religius. Meskipun, terkadang, terdapat pula menhir yang tidak berfungsi untuk itu.

Di sekitar menhir itu, kami temukan segelas kopi lengkap dengan sesajen bunga segala rupa. Sehingga, dugaan peradaban megalit terhadap menhir ini adalah mendekati ketepatan, dan masih dilakukan.

Tak jauh dari menhir itu, juga kami temukan sebuah makam kuno. Kuno, menurutku, karena makam itu menggunakan batu sebagai nisannya. Dua batu nisan; untuk bagian kepala dan kaki.

Kuno, secara kasanah. Sebab, tidak berapa jauh dari puncak bukit, juga kami temukan beberapa makam lengkap dengan kijing, dan makam-makam itu menggunakan kayu sebagai nisan.

Sementara di sekeliling lereng bukit, terdapat sawah-sawah, dan kebun palawija milik masyarakat. Ini adalah warisan budaya agraris sima sejak Kadatuan Medang, atau bahkan sebelumnya.

Perjalanan jurnalistik-ku kali ini “telah terlalu jauh”, menurutku. Ketika setiap noktah yang ku catat dan ku tulis saling tersambung, secara sinkron.

Mungkin, tidak ada yang terjadi dengan tiba-tiba, melainkan adalah sebagai hukum sebab-akibat.

Dan, sangat rumit bagiku, jika hanya sedikit literatur yang ku dapat untuk semua fakta-fakta lapangan itu.

Nyatanya, di bukit itu, ku temukan patok-patok keluaran Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga, ku pikir, pemerintah telah dan masih meneliti kawasan-kawasan di sekitar ini.

Artinya, pemerintah memang telah mengetahui apa yang telah dan tengah terjadi di sini. Dan, berkemungkinan memiliki rencana peruntukan di masa yang akan datang.

Hanya sekitar 15 menit dari Desa Wujil ke arah Kota Salatiga, terdapat Museum Pandanaran. Museum yang berada di Desa Candirejo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini, menyimpan banyak kisah-kisah dan benda-benda peninggalan masa lalu di kawasan Gunung Ungaran dan sekitarnya.

Di desa Candirejo ini pun masih banyak ditemukan menhir dan candi-candi peninggalan kebudayaan era lampau, yang sakral.

Gunung Ungaran memiliki ketinggian 2.050 mdpl. Gunung Ungaran memiliki tiga puncak yaitu Gendol, Botak, dan Ungaran. Puncak tertingginya adalah Ungaran.

Gunung berapi ini sedang mengalami masa tidur panjang. Sehingga, dapat aktif kembali sewaktu-waktu. Diperkirakan gunung ini pernah meletus pada masa lalu, yang menghancurkan dua pertiga bagian puncaknya.

Terlalu jauh untuk membahas masa neolotikum, mari, kita kembali ke masa Kadatuan Medang.

Selanjutnya, kedatuan ini berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi, yang didirikan oleh Sanjaya. Wangsa Syailendra yang memerintah kerajaan Medang dapat “terbagi” menjadi dua. Yakni Syailendra yang diidentifikasikan sebagai pemuja Siwa, dan yang lainnya adalah penganut Buddha Mahayana.

Akibatnya terjadilah perang saudara. Dimana wangsa Syailendra dibagi menjadi dua kerajaan yang kuat. Wangsa Syailendra pemuja Siwa berkuasa di Jawa dipimpin oleh Rakai Pikatan. Serta, wangsa Syailendra penganut Buddha Mahayana berkuasa di Sumatera dipimpin oleh Balaputradewa.

Mengacu pada ilmu geologi, Krakatau terbentuk karena pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.

Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders dalam Volcanoes in Human History menyebutkan bahwa setidaknya ada dua periode letusan besar Krakatau. Tetapi letusan itu terjadia sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Sehingga, lagi dan lagi, banyak noktah yang harus disambungkan. Mungkin, saja, ada yang harus secara terus terang diterangkan. Dan ada pula yang harus ditutup, mungkin sedikit.

Karena, secara bijaksana, sejarah tidak semestinya harus terbuka keseluruhan. Selalu ada yang harus dilindungi. Demi masa lalu, hari ini, dan masa depan.*

avatar

Redaksi