Batara Kala; Rasa Takut Dan Disinformasi
Inovasi
April 4, 2024
Zachary Jonah
Prangko Gerhana matahari Total 1983 dari PT POS Indonesia. (credits : pinterest)
BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisikasi (BMKG) menyatakan akan terjadi Gerhana Matahari Total (GMT) pada tanggal 8 April 2024. Hanya saja, GMT kali ini tidak dapat diamati di Indonesia.
Kawasan yang berada di Amerika Utara, Amerika Serikat, Meksiko, Amerika Serikat bagian tengah dan Kanada bagian timur akan menjadi lintasan GMT kali ini.
Mengutip nationaleclipse, durasi totalitas GMT kali adalah selama 4 menit 26 detik. Dan secara keseluruhan akan memakan waktu sekitar lima jam. Yakni sejak pukul 15:42:14 UT hingga 20:52:19 UT.
Gerhana matahari total adalah kondisi ketika bulan menutupi seluruh matahari sehingga korona yang menyelubungi matahari dan biasanya jauh lebih redup daripada matahari menjadi terlihat.
Menurut spaceplace.nasa.gov, matahari terhalang seluruhnya dalam gerhana matahari karena bulan melintas di antara bumi dan matahari. Meskipun bulan 400 kali lebih kecil dari matahari, namun karena jaraknya 400 kali lebih dekat dari bumi, maka bulan dapat sepenuhnya menghalangi cahaya matahari dari sudut pandang bumi.
Telah terjadi tiga kali GMT yang melintasi Indonesia sepanjang tahun 1980 hingga 2020. Yakni tanggal 11 Juni 1983 yang melintasi Jawa, lalu tanggal 18 Maret 1988 yang melintasi Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, dan tanggal 9 Maret 2016 yang melintasi Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
GMT di Indonesia, acap kali dihubungkan dengan mitologi Batara Kala yang menelan matahari atau bulan. Mengutip rareangon, Batara Kala adalah penguasa waktu. “Kala” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti waktu.
Batara Kala, sering kali digambarkan sebagai setan atau raksasa yang berwajah menakutkan. Dalam mitologi Hindu, Batara Kala adalah putra Batara Siwa dari hubungannya dengan Dewi Uma. Batara Kala memiliki permaisuri bernama Setesuyara, dewi alam baka.
Maka, Batara Kala yang memiliki dendam terhadap Batara Surya dan Batara Soma pun memakan mereka. Sehingga, terjadilah gerhana matahari atau gerhana bulan.
Bagi masyarakat Jawa, saat ketika Batara Kala mabuk karena meminum tirta amerta atau air keabadian ini membuat setiap orang harus berjaga. Sebab, sopo sing lebo bakale keno.
Sehingga, kondisi riuh harus diciptakan. Seperti memukul lesung padi ataupun kentongan. Serta, untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi pada generasi penerus, maka setiap ibu hamil harus disembunyikan ke tempat yang aman.
Dewa Wisnu, yang mengetahui persoalan ini, kemudian menebas batang leher Batara Kala dengan senjata cakra. Sehingga, kondisi gerhana pun terhenti. Batara Surya ataupun Batara Soma yang ditelan Batara kala akan keluar dari lehernya yang terpenggal.
Mitologi ini, cenderung memberikan rasa takut. Kemudian menjadi alasan tindakan informasi terpadu dari pemerintah, pada GMT yang terjadi pada 11 Juni 1983. Masyarakat hanya mendapatkan informasi dari mendengarkan melalui gelombang RRI dan menonton dari sinyal TVRI saja.
Menteri Penerangan Harmoko, yang berbicara atas nama instruksi langsung Presiden Suharto, menyatakan masyarakat dilarang menonton gerhana matahari. Instruksi ini, di daerah, dikawal langsung oleh gubernur.
“Hanya satu cara melihat gerhana dengan aman, lihatlah melalui layar TVRI Anda.” Begitulah kampanye one media for all yang digunakan kala itu.
Provisi-provinsi pun punya kerjaan tambahan. Penyuluh-penyuluh mensosialisasikan tentang bagaimana efek yang terjadi jika menonton langsung GMT itu. Pamflet disebar dari udara. Setiap orang yang mengutip kertas yang jatuh itu, selalu diingatkan tentang bahaya ini. Begitu juga dengan spanduk-spanduk di jalan raya.
Berhasil, jalanan di Pulau Jawa menjadi kosong aktifitas. Semua orang berada di rumah, menonton terjadinya GMT melalui saluran TVRI.
Kendati, hingga kini belum diketahui secara pasti melalui survey, misalnya, berapa jumlah penduduk yang mengalami kebutaan akibat melihat GMT pada waktu itu.
Secara logika ilmu pengetahuan, meskipun tidak terjadi GMT, melihat langsung matahari yang bersinar dengan mata telanjang adalah juga berbahaya.
Menurut alodokter, saat masuk ke mata maka sinar ultraviolet dari gerhana matahari akan difokuskan oleh lensa dan diserap oleh retina yang berada di belakang mata. Retina merupakan jaringan yang bertugas mengubah cahaya menjadi sinyal saraf dan mengirim sinyal-sinyal tersebut ke otak.
Setelah diserap oleh retina, maka sinar uktraviolet akan menghasilkan radikal bebas yang mulai mengoksidasi jaringan di sekitar mata. Sehingga sel batang dan sel kerucut pada retina akan rusak, atau biasa disebut retinopati surya.
Ini dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman pada mata saat menatap cahaya terang, sakit mata, mata berair, dan sakit kepala. Pada beberapa kasus serius, dapat mengakibatkan pandangan kabur atau berbayang, menurunnya kemampuan melihat warna dan bentuk, terdapat bintik hitam di tengah mata, dan kerusakan mata permanen.
Tetapi, Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung, kini, aktif mensosialisasikan tentang GMT. Bahwa GMT telah ada sejak era anno domini, dan adalah sebuah keindahan kosmologi. Fenomena ini dapat dilihat, meskipun, dengan tata cara yang sangat ketat.*