Alih-Alih Mendapat Kemudahan, Pengguna Paylater Justru Dilanggar Privasinya (Bagian III)

Ekonomi & Bisnis

March 17, 2023

Zulfa Amira Zaed, Jambi

PAYLATER, beli sekarang bayar nanti, sekilas terdengar seperti sebuah kemudahan atau solusi atas permasalahan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Nyatanya, paylater adalah hutang yang harus dibayar.

Kemudahan mengakses yang tidak memakan waktu lama juga turut mendukung pengguna untuk menjadikan paylater sebagai solusi ketika terdesak secara finansial atau sekedar memenuhi gaya hidup. 

Pengguna cukup menginstal aplikasi e-commerce kemudian mengajukan pinjaman atau belanja bayar nanti dengan mengisi formulir terkait pekerjaan dan penghasilan per bulan lalu mengunggah foto kartu identitas resmi dilengkapi dengan swafoto. Dalam hitungan menit permintaan disetujui berbagai aplikasi e-commerce. 

Saat pengajuan penggunaan layanan paylater, pengguna akan diminta untuk membaca syarat dan ketentuan yang berlaku. Namun, sayangnya tidak semua pengguna mencermati semua isi syarat dan ketentuan dari layanan paylater.

Direktur Surat Utang Negata (SUN) Ditjen Pengelola Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Deni Ridwan di instagram pribadinya mengulas tentang layanan paylater.

“Paylater ini memang terlihat menarik karena menawarkan kemudahan dalam bertransaksi di e-commerce. Bukan tanpa sebab, para ahli marketing memberinya nama paylater, ambil barangnya sekarang bayarnya gampang, bisa nanti. Ini memberikan kesan psikologis bahwa bayar sekarang atau nanti sama saja, tidak ada tambahan bunga,” kata Deni.

Deni Ridwan menjelaskan bahwa awal kesalahan pengguna sebagai konsumen apabila menganggap paylater ini adalah pilihan cara bayar. Padahal esensinya paylater ini adalah tambahan utang.

Berbeda halnya bila diberi nama kredit later atau cicil later, kesan psikologisnya menjadi berbeda. Persepsi yang salah, membuat konsumen cenderung konsumtif.

Sayangnya yang dibeli mayoritas adalah barang konsumtif seperti handphone atau aksesoris fashion. Jarang orang menggunakan paylater untuk membeli barang produktif misalnya traktor sawah atau mesin penggilingan padi. 

“Kesalahan kedua adalah kalau menganggap paylater ini tidak ada biayanya, seperti kartu kredit, salah satu sumber keuntungan penyedia jasa ini adalah denda atas keterlambatan pembayaran,” katanya.

Tak hanya menurut Deni Ridwan, menurut survei milik (Rised), juga menyatakan jika 43% konsumen menggunakan paylater untuk membeli barang di luar pengeluaran bulanan, demi promo dan cicilan pendek.

Risiko gagal bayar tagihan paylater di e-commerce


Ria (20) harus merogoh koceknya lebih dalam ketika harus membayar tagihan pembayaran makanan yang ia pesan bulan lalu.

Ia memesan nasi bungkus yang harganya tidak lebih dari 15 ribu rupiah. Namun tagihan yang harus dibayar lebih dari 30 ribu, karena ada ongkos kirim yang harus dibayar untuk biaya layanan, biaya aplikasi, dan biaya bulanan paylater.

“Uang yang dikirimkan orang tua saya kan tidak dilebihkan, saya diberi nominal yang sama setiap bulannya. Celakanya, bila ada tagihan paylater, bulan berikutnya saya harus mengeluarkan uang lebih. Makin lama makin banyak dan saya kewalahan membayarnya,” kata Ria pada Senin (9/1/2023).

Denda tentu menunggu pengguna yang terlambat atau gagal bayar. Tak hanya itu, saldo paylater pengguna juga akan dibekukan sebelum tagihan dilunasi.

Selain pengguna harus menanggung denda, bunga berjalan dan biaya tambahan lainnya, pengguna juga akan ditagih melalui telepon secara terus menerus.

Debt collector atau penagihan lapangan akan menghampiri pengguna yang gagal bayar.

Dalam webinar yang digelar Yayasan YLKI bertema ‘Perlindungan konsumen digital finance’ pada (15/3/2022), Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Andi menyampaikan bahwa berkembangnya fenomena keuangan digital sangat menarik karena kemudahannya, namun itu tidak berarti bebas dari masalah yang mungkin ditimbulkan.

“Dari pantauan YLKI, selama lima tahun terakhir, pengaduan mengenai digital finance mencapai 51 persen,” kata Tulus.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kemudahan bertransaksi digital tidak serta merta menjamin penggunanya bebas dari masalah.

Dalam setiap pengajuan permohonan penggunaan layanan paylater, aplikasi akan meminta persetujuan pengguna agar aplikasi mendapatkan akses ke berbagai aplikasi di smartphone seperti kontak, gambar, kamera, lokasi, dan aplikasi lainnya. 

Bila calon pengguna tidak memberikan akses, maka layanan paylater tidak akan bisa digunakan.

Selain berbagai risiko tersebut, menggunakan paylater, menurut “Annual Data Breach Report 2021” milik  Identity Theft Resource Center, kebocoran data pada tahun 2021 naik lebih dari 68% (1.862 pelanggaran). Satu dari asal kebocoran data adalah dari aplikasi dengan layanan paylater. 

Dengan adanya kebocoran data, tidak menutup  kemungkinan bahwa pihak yang tidak bertanggung jawab akan menggunakan data pengguna untuk melakukan tindakan kriminal.

Pengguna paylater kerap mendapatkan tawaran menggiurkan seperti dana segar atau kartu kredit. Tawaran tersebut datang bertubi-tubi melalui telepon maupun pesan singkat.

Yang menjadi pertanyaan, dari mana para sales atau marketing mengetahui nomor telepon calon nasabah? Karena senyatanya, nomor telepon merupakan data pribadi.***

Artikel ini didukung oleh AJI Indonesia kerjasama dengan Bank Permata.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Wartasuluh.com

avatar

Redaksi