Cinta Soekarno Yang Tertambat Di Salatiga

Lifestyle

April 19, 2024

Jon Afrizal/Salatiga, Jawa Tengah

Hartini dan Jovanka Broz, pada kunjungan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito ke Jakarta, Desember 1958. (credits : wikicommons)

SAYUR lodeh, bagi masyarakat Jawa, adalah makanan yang terkait dengan tolak bala. Dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana, wabah atau hal-hal buruk lainnya.

Sayur ini terdiri dari tujuh bahan. Yakni  kluwih, cang gleyor (kacang panjang), terong, kulit melinjo, waluh, godong so (daun melinjo), dan tempe.

Keberadaan tujuh macam bahan sayur dalam sayur lodeh dianggap sebagai penangkal dan melindungi masyarakat dari hal-hal buruk. Ini sangat terkait dengan pengalaman buruk masyarakat, yang kemudian menjadi tradisi, ketika menghadapi bencana alam.

Berdasarkan tutur sejarah, sayur lodeh, menurut stekom.ac.id, telah ada di Jawa Tengah sejak tahun 1006. Yakni kala masyarakat harus melewati saat-saat sulit ketika Gunung Merapi meletus.

Sekitar 10 abad kemudian, yakni tahun 1952. Kala itu, Soekarno, presiden pertama RI sedang dalam kunjungan kepresidenan dari Jakarta menuju ke Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada Yogyakarta.

Rombongan presiden beristirahat sejenak di rumah dinas Walikota Salatiga, untuk makan siang. Sementara massa rakyat telah menunggu kehadiran Bung Besar di lapangan Tamansari.

“Suwe ora jamu
Jamu pisan jamu kapulogo
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan nang Solotigo”

Penggalan lagu Suwe Ora Jamu yang dimodifikasi sedikit ini menjadi pembuka pidato Bung Besar di depan khalayak di Lapangan Tamansari.

Sementara di dapur rumah Dinas Walikota Salatiga, para perempuan sibuk menyiapkan makanan untuk perjamuan makan siang bagi presiden dan rombongannya.

Adalah Siti Suhartini, perempuan berusia 27 tahun yang adalah anak pasangan Osan Murawi dan Mairah, pegawai Kehutanan. Rumahnya tepat berada di sebelah rumah dinas Walikota Salatiga.

Dikisahkan, ia telah dijawil Walikota Salatiga untuk membantu memasak di dapur. Khusus untuk perjamuan ini, Siti Suhartini memasak sayur lodeh.

Pada banyak rujukan bacaan tentang Soekarno, dinyatakan bahwa Soekarno sangat menyukai masakan tradisional Indonesia. Satu diantaranya adalah sayur lodeh.

Pada saat jamuan makan siang di rumah dinas Walikota Salatiga itu, sayur lodeh hadir di meja makan. Soekarno menyantapnya dengan lahap.

“Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.” Demikian Soekarno bertanya kepada mereka yang hadir di ruang makan kala itu.

Siti Suhartini pun didorong-dorong dan dipaksa maju oleh para perempuan yang bertugas di dapur,untuk berjabat tangan dengan Soekarno.

Mengutip Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, Siti Suhartini mengulurkan tangan kepada Bung Besar. Soekarno menjabat tangannya, sembari berbasa-basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”

Gugup, tapi senang, yang dirasakan Siti Suhartini saat itu.

Tien, demikian Soekarno memanggilnya, adalah prototype perempuan Jawa; nrimo, bhekti, penurut, tidak suka membantah, santun dan tidak cerewet. Ini adalah tipologi perempuan idaman Bung Karno.

Pertemuan selanjutnya, setahun kemudian, adalah di Candi Prambanan. Tak sanggup menahan rindu, Srihana, nama samaran Soekarno, menulis sepucuk surat kepada Srihani, nama samaran yang ia berikan kepada Siti Suhartini.

Intinya, Soekarno nyerah pada perasaannya sendiri.

15 Januari 1953, dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, Soekarno meminta izin kepada Fatmawati untuk menikahi Siti Suhartini.

Poligami; dan Fatmawati menolak keputusan Bung Besar dengan cara keluar dari istana negara. Fatmawati akhirnya pindah dan tinggal di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.

Bung Karno dan Siti Suhartini menikah pada 7 Juli 1953 di Istana Cipanas, Jawa Barat. Ia kemudian disapa Hartini, kala itu usianya 28 tahun.

Hartini lahir di Ponorogo, 20 September 1924. Sebelum dinikahi Bung Besar, Hartini telah mengalami pernikahan dini, lalu bercerai, dan memiliki lima orang anak.

Pernikahan Soekarno dan Hartini menuai polemik dari banyak orang. Show must go on, dan Hartini tinggal di satu paviliun di Istana Bogor. Dinyatakan, bahwa ia selalu memasak untuk Soekarno, setiap hari.

Ia juga menjadi first lady dalam beberapa kunjungan kenegaraan dan kunjungan balasan ke negara-negara sahabat.

Hartini meninggal di Jakarta 12 Maret 2002 dan dimakamkan di TPU Karet Bivak. Dari pernikahannya dengan Soekarno, Hartini mendapatkan dua orang anak; Bayu Soekarnoputra dan alm. Taufan Soekarnoputra.

Rumah keluarga Hartini di Salatiga hingga kini masih ada. Meskipun tidak seutuhnya sama dengan aslinya. Kini, rumah itu menjadi kantor Kejaksaan Negeri Salatiga, yang berada di Jalan Diponegoro nomor 6, tak jauh dari perempatan patung Diponegoro.*

avatar

Redaksi