Fort Oengaran; Biaya Yang Ditanggung Susuhunan
Daulat
April 12, 2024
Astro Dirjo/Ungaran, Jawa Tengah
Gembok di pintu Fort Oengaran. (photo credits : Astro Dirjo/amira.co.id)
PASCA Tragedi Angke di Batavia tahun 1743, VOC dan susuhunan mengadakan perjanjian. Pada perjanjian itu, diputuskan untuk membangun tiga benteng.
Tujuan pembangunan tiga benteng itu, mengutip atlasofmutualheritage.nl, adalah untuk menguasai jalur strategis antara Semarang dan Yogyakarta. Terkait biaya pembangunannya, ditanggung oleh susuhunan.
Satu dari tiga benteng itu adalah Fort De Ontmoeting (Encounter). Berkemungkinan benteng ynag juga dikenal dengan sebutan Fort Oengaran ini dibangun setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1757.
Sedangkan dua benteng lainnya, adalah Fort Herstelling di Salatiga dan Fort Veldwachter di Boyolali.
Melalui Perjanjian Giyanti, Mataram dibagi menjadi dua wilayah. Yakni susuhunan di Yogyakarta dan sunan di Surakarta.
Pada bulan Mei 1743, Gustaaf Willem Baron van Imhoff bertugas sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Ia memulai masa jabatannya di Batavia yang sedang dilanda kerusuhan.
Situasi kacau menyusul tindakan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier yang dituduh melakukan pembantaian pada kerusuhan Tragedi Angke di Batavia, kemudian dimanfaatkan para pangeran Jawa untuk memulai perang melawan VOC.
Sehingga, nama benteng ini, terkait dengan pertemuan (bahasa Belanda: Ontmoeting) antara Sunan Pakubuwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff pada tanggal 11 Mei 1746.
Van Imhoff berhasil membangun kembali perdamaian dan memulai beberapa reformasi.
Ia juga mendirikan sekolah, membuka kantor pos pertama di Hindia Belanda, membangun rumah sakit, dan menerbitkan suratkabar.
Ia juga mendirikan kota Buitenzorg dan menekan perdagangan opium. Pada tahun 1746, Imhoff memulai perjalanan keliling Jawa untuk memeriksa kepemilikan perusahaan dan memutuskan beberapa reformasi kelembagaan.
Van Imhoff meniggal dunia dalam usia 45 tahun pada tanggal 1 November 1750 di Batavia.
Besar kemungkinan, sebelumnya terdapat benteng sementara di Fort Oengaran. Sebab pada batu atap pelana yang sudah ada sebelumnya tertera angka tahun 1786.
Benteng ini terdiri dari tembok setebal satu meter. Di sekitar bangunan dua lantai yang memberikan sudut pandang ke pintu masuk utama barat dan pintu belakang timur.
Bangunan-bangunan di dalam benteng mengelilingi halaman dalam.
Tentara Inggris melakukan invasi pada tahun 1811. Mereka berlabuh di sekitar Batavia. Tentara Inggris berhasil mengalahkan tentara Belanda-Prancis.
Selanjutnya, Fort De Ontmoeting pun direbut tentara Inggris.
Sekitar tahun 1817, Belanda menduduki kembali dan menempatkan garnisun yang terdiri dari 25 orang di dalam benteng.
Pada masa Perang Jawa 1826, benteng ini diserang dari arah Rembang oleh pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Kyai Mojo. Kyai Mojo adalah penasehat agama dan komandan militer pasukan Pangeran Diponegoro.
Setelah dikepung selama dua minggu, benteng ini hampir jatuh ke tangan Kyai Mojo. Sayangnya, pasukan kolonial berhasil bertahan, hingga Kyai Mojo mundur.
Setelah perang berakhir pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap. Ia dipenjarakan di dalam Benteng Willem II selama tiga hari pada bulan Agustus 1830.
Setelah itu, ia dipindahkan ke Batavia untuk diadili. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhirnya meninggal di pengasingan.
Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun, yakni sejak tahun 1825 hingga 1830. Sebanyak 20.000 jiwa penduduk Pulau Jawa yang meninggal dunai akibat peperangan ini.
Perang ini juga menelan korban sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, 7.000 pribumi. Dan, sebanyak 8.000 jiwa tentara Belanda juga meninggal dunia sebagai korban.
Sedangkan kerugian pemerintah kolonial adalah NLG 2 juta gulden, atau setara dengan APBN pemerintah Belanda selama lima tahun, pada masa itu.
Tetapi, setelah itu, De Ontmoeting seperti kehilangan makna sebagai “benteng”. Terutama setelah dibangunnya benteng besar Willem I di Ambarawa, antara tahun 1837 hingga 1844.
Dari tahun 1840 hingga 1908, benteng ini hanya digunakan untuk merawat tentara yang sakit. PIlihan ini adalah dengan alasan lingkungan pegunungan yang sehat.
Sayangnya, sejak tahun 1865, bangunan ini tidak lagi berfungsi sebagai pertahanan. Dari tahun 1919 hingga 1942 benteng ini kosong, tidak berisi kegiatan kemiliteran.
Selanjutnya, secara berturut-turut digunakan oleh tentara Jepang, pasukan nasional Indonesia, polisi militer Belanda, tentara Indonesia dan sebagai tempat tinggal polisi Indonesia beserta keluarganya.
Sejak tahun 2008, tempat itu kosong kembali. Maka pada tahun 2011, oleh pemerintah Indonesia, benteng ini pun direnovasi seluruhnya.*