“Ta’jil” Bukan Menu Berbuka Puasa
Lifestyle
April 5, 2024
Farokh Idris

Satu menu berbuka puasa. (credits : suzannescuisine)
BANYAK orang yang salah kaprah ketika menyebut ta’jil atau takjil. Dapat dimaklumi, karena tidak semua orang adalah native speaker bahasa Arab.
Seperti yang biasa digunakan, takjil cenderung diartikan sebagai makanan yang khusus dikonsumsi saat berbuka puasa. Seperti buah kurma, makanan tradisonal dan sejenisnya.
Mengutip rumahfiqih, takjil, sebenarnya, berasal dari prasa berbahasa Arab, yakni ‘ajjala – yu’ajjilu – ta’jilan. Yang artinya adalah mempercepat atau mendahulukan. Adapun maksudnya adalah mempercepat makan atau berbuka puasa dari shalat Maghrib.
Ketika bulan Ramadhan, dan umat muslim berpuasa, maka aturan yang seharusnya ketika masuk waktu maghrib adalah, shalat Maghrib terlebih dulu, dibalik menjadi makan sesaat setelah adzan magrib berkumandang.
Ketika berpuasa Ramadhan, maka bukan shalat terlebih dulu yang jadi prioritas. Tetapi justru makan terlebih dahulu. Sehingga makna ta’jil itu sebenarnya adalah memprioritaskan makan daripada shalat.
Dasar dari tindakan ini adalah hadits dari HR. Bukhari dan Muslim, yang berbunyi, “Dari Sahl bin Saad bahwa Nabi SAW bersabda, ”Umatku masih dalam kebaikan selama mendahulukan berbuka.”
Namun, sangat disayangkan, banyak orang terlanjur menyebut kata ta’jil di luar makna yang sesungguhnya. Akhirnya, kata ta’jil malah identik dengan makanan untuk berbuka puasa. Seperti buah kurma dan makanan tradisonal, misalnya, yang akhirnya berubah nama menjadi ta’jil.
Semakin salah kaprah, ketika para pedagang menu berbuka puasa di sore hari menyebut dagangan mereka sebagai takjil.
Selain itu, kata takjil juga berkembang secara salah kaprah menjadi arti “batal”. Sebab makna ta’jil itu bukan “membatalkan puasa”, melainkan tindakan untuk mempercepat makan ketika adzan Magrib berkumandang.
Terkait buah kurma yang kerap disebut sebagai takjil oleh masyarakat umum, terdapat hadits dari HR. Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi, “Dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah berbuka dengan rutab sebelum shalat, jika tidak terdapat rutab, maka beliau berbuka dengan tamr, jika tidak ada beliau meneguk air”.
Kata ruthab sebenarnya bermakna kurma juga, namun berbeda dengan kurma pada umumnya.
Hadis dari HR. Abu Daud dan At-Tirmizy menyebutkan,” Dari Salman bin Amir radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Bila kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, karena kurma itu barakah. Kalau tidak ada kurma, maka dengan air, karena air itu mensucikan.”
Ruthab adalah kurma yang masih muda, segar, berair, dan tentu saja menyehatkan. Sedangkan kurma yang biasa kita temukan, disebut tamr.
Wajar saja jika akhirnya banyak orang yang terlanjur berpendapat bahwa berbuka puasa dengan buah kurma adalah sunnah nabi. Sehingga pasaran kurma cukup laris dan diminati.
Tetapi sebenarnya tetap ada yang berbeda antara berbukanya Nabi Muhammad dengan buah kurma, dengan berbukanya kita dengan kurma.
Rasulullah disebutkan berbuka dengan menu kurma, karena memang menunya hanya kurma saja. Artinya kurma itu adalah makanan pokok yang dimakan hingga kenyang.
Setelah makan kurma, maka tidak makan makanan lainnya. Dan dalam kesehariannya, Rasullullah selalu sarapan pagi, makan siang, dan makan malam dengan buah kurma.
Ini karena bagi penduduk Madinah di masa itu, kurma adalah makanan pokok.
Sementara, bagi kita di sini, biasanya, buah kurma adalah menu pembuka untuk berbuka puasa. Setelah itu berhenti sejenak untuk shalat Magrib, dan dilanjutkan lagi dengan makan nasi dan lauk pauknya. Tentu saja, berbeda.*
