Membujuk Lebah Sialang Agar Tak Merajuk
Lingkungan & Krisis Iklim
October 21, 2025
Zulfa Amira Zaed/Telisak, Sarolangun

Jailani sedang memandang pohon sialangnya. (credits: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)
“Turun sayak, turun urang,
Turun muko, penurun kaki,
Turun sanak, turun tuan,
Turun junjungan, lubak daki.”
JAILANI adalah masyarakat Batin Sembilan yang bermukim di Sungai Belukar Luar, Sungai Telisak Desa Sepintun Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Ia adalah seorang piawang medu (: madu). Yakni, orang yang dapat menurunkan madu di pohon Sialang miliknya sendiri.
Pohon Sialang adalah jenis pohon dimana ratu lebah mengerahkan prajurit-parajuritnya untuk menghasilkan madu. Umumnya, ini adalah pohon dengan kulit yang licin, seperti; Kedundung dan juga Mengris.
Penggalan nombai (syair) itu dilantunkan oleh Jailani (60) ini, adalah suatu upaya untuk membujuk lebah agar dapat bertenang diri, dan Jailani pun dapat memanen madunya.
Syair ini, adalah juga wujud rasa hormatnya terhadap lebah dan pohon Sialang.
Bicara tentang madu Sialang, tentu saja, hanya ada di hutan yang lebat, dengan ekosistem yang terjaga. Sebab, ini bukanlah jenis madu ternak, tetapi madu alam.
Dan pohon Sialang adalah tempat lebah bersarang dan memproduksi madu, secara berkala, dari tahun ke tahun.
“Tujuan dari syair tersebut adalah supaya lebah tidak marah ketika diambil madunya. Arti syair tersebut, pertama mengambil madu seperti mengasuh anak kecil, dengan penuh kasih sayang. Dengan adanya syair tersebut maka lebah juga sayang dengan kita sehingga tidak marah,” kata Jailani.
Lanjutnya, syair ini juga menjadi caranya berkomunikasi dengan alam di sekitarnya. Baginya, alam adalah rumah untuknya dan keturunannya.
Menurutnya, nombai ini juga ada hubungannya dengan penunggu pohon sialang. Penunggu yang dimaksud adalah naluri yang ada di dalam diri manusia, yakni cara untuk mengendalikan emosi.

Jailani memperlihatkan madu yang didapat dari pohon Sialang miliknya. (credits: Zulfa Amira Zaed/amira.co.id)
“Di bagian bawah, penunggunya disebut merbawanu, bagian tengah disebut mantaro adil, dan paling atas disebut putri galang gilu,” katanya.
Menurutnya, pohon Sialang ini sudah dijaga secara turun temurun, sejak beberapa generasi lalu. Dulu, katanya, ketika ia masih anak-anak, kakeknya sering mengajak memanen madu.
“Dari syair itulah saya memahami bahwa alam semesta yang kita jaga juga akan mengembalikan kebaikan kepada kita. Sebagai anak, kita juga harus berbakti kepada orang yang terdahulu,” kata Jailani.
Mengutip Jon Afrizal dalam buku “Debalang Rimbo: Kosmologi Orang Batin Sembilan”, Batin Telisak adalah satu sub kelompok dari sembilan kelompok Batin Sembilan. Jika mengikuti folklore tentang “Sembilan Anak Sungai”, maka wilayah Sungai Telisak, adalah termasuk wilayah dari aliran Sungai Pemusiran.
Dimana wilayah ini dinyatakan sebagai wilayah pencarian dari keturunan Singo Laut. Yakni satu dari sembilan anak dari Raden Ontar. Raden Ontar, adalah, orang dari keturunan awal, yang tercatat, dari kelompok indigenous people Batin Sembilan di perbatasan Provinis Jambi – Sumatera Selatan.
Namun, komunal Batin Telisak awalnya berasal dari Sungai Macang, yang berada di Hulu Batanghari Leko, dan mandah (berpindah atau nomaden) ke kawasan ini.
Menurut Jailani, pemilik sialang ditentukan dari siapa yang menemukan pohon sialang pertama kalinya. Pun, hampir seluruh masyarakat yang bermukim di kawasan ini saling mengetahui si empunya pohon dan nyaris tanpa konflik mengenai kepemilikan pohon sialang. Pohon sialang juga dapat diwariskan secara turun temurun.
“Kami menjaga seluas 100 meter persegi di sekitar pohon sialang, untuk membersihkannya, kami lakukan dengan manual, tidak pernah meracun. Karena kami tahu pohon dan bunga yang ada di sekitar sialang ini menjadi sumber makanan bagi lebah yang bersarang di sini,” kata Jailani sambil memandang sialang miliknya yang diperkirakan berusia lebih dari 150 tahun.
Memanen madu di pohon sialang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Menurut kepercayaan masyarakat Batin Sembilan, memanen madu hanya dapat dilakukan di malam hari saja.

Desa Sepintun Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. (credits: Google Maps)
Sebab, jika dilakukan pada siang hari, maka di waktu yang akan datang madu yang dihasilkan tidak sebanyak sebelumnya, dengan kata lain, lebah telah merajuk.
Madu di pohon sialang biasanya dipanen tiga kali dalam setahun. Atau, melihat musim bunga di sekitar pohon.
Madu yang dihasilkan, menjadi buruan banyak orang. Meski masyarakat Batin Sembilan tidak memasarkannya ke toko, atau secara daring, namun selalu ada orang yang datang untuk membeli madu tersebut.
“Kami diajarkan mengemas madu agar lebih menarik dan lebih bersih. Kami juga dibantu Yayasan Cappa untuk memasarkannya, mengurus legalitas, dan kami juga dibantu dihubungkan dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) untuk bekerjasama dalam melakukan pemetaan pohon Sialang di kawasan ini,” kata Jailani.
Sejalan dengan Jailani, Utari Oktika Rani (30), Direktur Yayasan CAPPA mengamini pernyataan tersebut.
“Saat ini kami sudah punya perencanaa kolaborasi antara CAPPA, Rain Forest dan masyarakat Batin Sembilan, dan rencananya akan dilakukan pemetaan pohon sialang dari November 2025 hingga Januari 2026. Diperkirakan di kawasan ini ada sebanyak 200 pohon sialang,” kata Utari.
Secara geografis, kawasan yang dikelola oleh masyarakat Batin Sembilan di area ini masuk ke kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PT Alam Lestari Nusantara (LAN). Sebagai upaya pelestarian hutan, seluas 100 meter persegi dari pohon Sialang harus dikeluarkan dari HGU.
Keberadaan pohon Sialang bukan hanya bermanfaat secara ekonomi untuk masyarakat Batin Sembilan tetapi juga menjadi tonggak kelestarian hutan. Sebab lahan seluas 100 meter persegi ini tidak boleh diolah, dibabat, atau dieksploitasi dengan cara yang merugikan. Hal tersebut telah diatur dengan aturan adat setempat dan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
“Menurut aturan adat, barang siapa yang melanggar aturan tersebut, seperti menebang, maka akan dikenakan sanksi berupa denda. Denda tersebut dihitung dengan cara menghitung banyaknya madu dikali tiga kali panen, dikali berapa tahun sudah dipanen,” kata Jailani.*
