Pesawat Mendarat Pukul Berapa
Lifestyle
July 5, 2025
Junus Nuh/Kulon Progo, DIY

Melihat keluar dari jendala cabin pesawat terbang sebelum take off. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
“Bisanya,
Kereta terlambat
Dua jam,
Cerita lama.”
LIRIK ini adalah kutipan dari lagu berjudul “Kereta Tiba Pukul Berapa”. Lagu ini adalah lagu kedua di album “Sumbang” dari penyanyi folk Iwan Fals. Album keluaran Musica tahun 1983 ini adalah album ke-7-nya.
Meskipun album ini lebih berkesan “lembut” dan lebih bertemakan cinta, namun tetap gamblang menceritakan kondisi pada saat itu.
Lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa” ini bercerita tentang seorang lelaki yang sedang menunggu kedatangan “sobat karib”, yang dalam lagu itu, perwujudannya dijelaskan dengan backing vocal suara seorang perempuan.
Si “Sobat Karib” itu, ceritanya, akan datang menggunakan spur (kereta api), dan ia akan tiba di stasiun pada pukul 1 siang. Iwan Fals, yang kebelet pingin ketemu “sobat”, lalu mengendarai kendaraan roda dua layaknya pembalap, keunceng sekali.
Sayang, ia terlambat sampai di stasiun, yakni pada pukul 13.30 WIB. Setelah tanya sana sini, diketahui, bahwa kereta datang terlambat, mungkin sekitar dua jam dari jadwal. “Itu biasa,” katanya.
Kereta api adalah moda transportasi kerakyatan se-Pulau Jawa. Spur menghubungkan banyak kota di Pulau Jawa, sejak era Hindia Belanda hingga hari ini.
Adalah hal yang lumrah, jika pada era dibawah tahun 2000-an, kereta api akan selalu penuh sesak, lengkap dengan pedagang asongan, pengamen, penyewa majalah, penyewa bantal dan seterusnya.
Suasana yang hampir mirip dengan kondisi di bus-bus trans Sumatera di era yang sama.
Kini, tentu saja, berbeda. Kereta api, meskipun tetap dengan pola kerakyatan, namun, sangat jauh dari kesan semrawut. Semuanya serba teratur, pun termasuk jadwal perjalanan.

Stasiun Gambir, Jakarta. (credits: Jon Afrizal/amira.co.id)
Entah mengapa, dalam setiap penerbangan, terutama ketika peak season ataupun high season, aku selalu teringat lirik lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa” ini. Sembari menanti pesawat, yang, ehm, acapkali delay. “Mungkin, biasa,” kata Iwan Fals dalam lagu ini.
Dan, sepertinya, hanya ucapan “maaf” yang didapatkan. Ehm, mungkin biasa.
Dirjen Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebutkan terdata sebanyak 18 maskapai penerbangan penumpang berjadwal yang beroperasi di Indonesia.
Montor Mabur (pesawat terbang) bukan lagi moda transportasi mewah di Indonesia pada saat ini. Sejak tahun 2000-an, maskapai penerbangan domestik telah melakukan ekspansi, baik itu antar kota dalam satu pulau, ataupun antar kota antar pulau.
Mengutip Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor 89 tahun 2015 tentang “Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia” jika terjadi keterlambatan penerbangan, maka penumpang berhak untuk mendapatkan kompensasi sesuai dengan lamanya waktu menunggu keberangkatan.
Yakni; keterlambatan 30 hingga 60 menit, berupa minuman ringan. Keterlambatan 61 hingga 120 menit, berupa minuman dan makanan ringan. Keterlambatan 121 hingga 180 menit, berupa minuman dan makanan berat.
Lalu, keterlambatan 181 hingga 240 menit, berupa minuman, makanan ringan, dan makanan berat.
Kemudian, keterlambatan lebih dari 240 menit (4 jam), berupa uang ganti rugi sebesar IDR 300.000. Ganti rugi ini dapat diberikan dalam bentuk uang tunai, voucher yang dapat diuangkan, atau transfer ke rekening penumpang selambat-lambatnya 3×24 jam sejak keterlambatan terjadi.
Dan, karena telah digunakan secara massal, maka tidak ada salahnya jika maskapai penerbangan berbenah diri. Jika pun belum dapat untuk tepat waktu, berikanlah kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Safe flight.*

