Wong Kalang Bukan Mitos

Daulat

February 15, 2025

Jon Afrizal

Upacara Kalang Obong. (credits: cakwa budaya)

WONG Kalang adalah kelompok masyarakat nomaden di Pulau Jawa, meskipun kini mereka telah menetap. Kelompok masyarakat ini tercatat oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku History of Java (1817).

Wong Kalang, menurut Raffles, terpisah dari Orang Jawa pada umumnya.

Menurut Raffles, Wong Kalang hidup berpindah-pindah dengan cara berjalan dari satu daerah ke daerah lain atau naik pedati yang beroda dengan poros berputar yang ditarik oleh dua pasang sapi atau lebih. Setelah itu, barulah mereka menjalani hidup menetap.

Penyebutan identitas Wong Kalang pun kontroversial. Yang mana sebutan itu datang dari masyarakat Jawa.

Sehingga stereotype ini, dapat diakatakan sebagai penyebab mengapa mereka terpisah dari orang Jawa, dan hidup berpindah-pindah.

Agus Aris Munandar dalam buku Tuha Kalang, Orang-orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa menyebutkan Wong Kalang masih memeluk keyakinan pra-Islam. Pada saat penyebaran dan perkembangan agama Islam di Jawa, Wong Kalang masih tetap tinggal di hutan-hutan.

Di era Sultan Agung (1613-1645), Wong Kalang dikumpulkan, tepatnya pada tahun 1936. Mereka diberi tempat di desa-desa agar tinggal secara menetap. Tugas mereka, adalah mencari kayu dan menebang pohon.

Francois Valentyn dalam bukunya Beschrying van Groot Djava of te Java Major (1726) menyebutkan Wong Kalang tinggal di hutan jati di pesisir utara Jawa. Wong Kalang bekerja sebagai penebang kayu jati dan membayar upeti kepada penguasa Jawa, yakni Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede.

Selanjutnya, dalam peraturan VOC yang diterbitkan pada tahun 1747, disebutkan bahwa Wong Kalang Als een volk geconsidereert zyn geworden. Atau, terpisah dengan orang Jawa.

Sebab, mengacu pada peraturan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak mau dipersamakan dengan Wong Kalang yang masih tinggal dengan pola berpindah-pindah di dalam hutan jati pesisir utara Jawa.

Rumah Wong Kalang. (credits: Dinas Kebudayaan Kota Yogjakarta)

Wong Kalang telah dikenal meluas pada abad 9 – 10 M.

Istilah kalang pertama kali ditemukan dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Mataram kuno. Demikian menurut catatan arkeologi masa Hindu-Buddha.

Istilah itu tercantum dalam prasasti-prasasti masa klasik yang diterbitkan pada kurun waktu 804 – 943 Masehi. Yakni ketika Kerajaan Mataram kuno masih berpusat di wilayah Jawa bagian tengah.

Woang Kalang, pada masa itu menerima pasek (hadiah) setelah menghadiri upacara pemberian sima (manusuk sima) kepada suatu desa. Sebuah istilah yang merujuk pada kelompok masyarakat dengan profesi tertentu, yang berkaitan dengan perkayuan atau kegiatan mendirikan bangunan.

Prasasti yang pertama kali menyebutkan istilah kalang adalah Prasasti Harinjing, berangka tahun 726 Saka/804 Masehi. Uraiannya menyebutkan jabatan tuha Kalang, yang merujuk pada pimpinan (: tuha) orang-orang Kalang. Adapun jabatan tersebut dijabat oleh seorang yang bernama Diman Wanua.

Juga, Prasasti Kamalagi (831 M), Prasasti Salingsingan (880 M), Prasasti Wuatan Tija (880 M), Prasasti Lintakan (902 M), dan Prasasti Sangguran (928 M).

Jika mengaitkannya dengan era Hindu-Buddha, istilah kalang dapat diartikan sebagai pejabat desa yang bertugas di bidang perkayuan.

Peran dan kedudukan mereka cukup penting. Yang ditandai dengan serangkaian wakil kelompok Wong Kalang yang diundang untuk menghadiri upacara penetapan sima dan mendapat hadiah dari raja atau pejabat kerajaan, terlebih disebutkan dalam prasasti.

Pada masa Majapahit Hayam Wuruk, istilah kalang muncul dalam Prasasti Penambangan atau Canggu (1358). Sedangkan era Majapahit, kalang merujuk pada profesi penarik pedati.

Pedati wong Kalang digunakan untuk mengangkut perabotan dan barang dagangan serta penumpang yang melintasi kerajaan dan menyeberangi beberapa sungai.

Meskipun, tidak tertutup kemungkinan, bahwa banyak dari mereka keluar hutan dan tinggal bersama penduduk Majapahit kala itu. Tetapi, banyak pula sumber tertulis lain menyebutkan bahwa Wong Kalang tetap sebagai penghuni hutan.*

avatar

Redaksi