Kebijakan SDA Yang Tidak Bijak
Lingkungan & Krisis Iklim
January 9, 2025
Farokh Idris/Kota Jambi

Sungai Batanghari. (credits: Shutterstock)
PEMERINTAH Provinsi Jambi dinyatakan gagal oleh Kementerian ESDM untuk memenuhi target kuota produksi batu bara di tahun 2024. Dari target 19 juta ton, hanya 11 juta ton yang terealisasi.
Tak terpenuhinya kuota ini, menurut Gubernur Jambi Al Haris, adalah karena soal angkutan transportasi batu bara yang tidak maksimal.
Ketika dilakukan pengangkutan melalui jalur darat melewati akses nasional, ternyata malah berakibat kemacetan. Pun setelah diubah menjadi jalur sungai, tetapi tidak optimal, karena berbagai hal.
“Kondisi ini berakibat ESDM menjatuhkan sanksi dan menurunkan jumlah produksi batu bara di Provnsi Jambi,” katanya, mengutip Detik.
Pada tahun 2023, kuota produksi batu bara untuk Provinsi Jambi sebesar 39 juta ton. Dan dapat dipenuhi.
Namun, imbasnya, adalah protes dari warga yang terabaikan. Karena perjalananya terganggu.
Ini terjadi akibat antrean panjang truk-truk angkut batu bara, sejak dari mulut tambang hingga ke Pelabuhan bongkar muat Talang Duku. Dan, hampir tidak ada ruas jalan untuk pengguna jalan yang lain.
Wakil Ketua DPRD Jambi Ivan Wirata mengatakan bahwa menurunnya kuota produksi batu bara di Provinsi Jambi adalah karena persoalan jalur khusus yang belum terselesaikan. Sehingga, katanya, Pemprov Jambi harus segera percepat upayakan jalur khusus batu bara agar kuota batu bara tidak berkurang dan dana bagi hasil daerah juga bertambah.
Catatan Akhir Tahun 2024 Walhi Jambi berjudul “Tanah, Bara Dan Pin Emas” menilai bahwa kebijakan di sektor sumber daya alam (SDA) di Provinsi Jambi pada tahun 2024, yang semula bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, implementasi dari kebijakan itu malah menunjukkan banyak kontradiksi yang memicu berbagai kritik.
Pada satu sisi, Pemprov Jambi mendorong eksploitasi batubara dan ekspansi perkebunan sawit serta Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja. Tapi pada sisi lain, ketergantungan yang tinggi pada sektor-sektor ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Seperti; deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air.
Selain itu, konflik agraria yang melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan besar semakin meningkat. Ini menunjukkan bahwa kebijakan itu seringkali tidak memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ketidakadilan penguasaan lahan di Provinsi Jambi telah menjadi masalah serius.
Menurut catatan Walhi Jambi, dari total luas lahan yang ada, sekitar 1.223.737 hektare dikuasai oleh korporasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sementara hanya sekitar 215.969 hektare yang dialokasikan untuk skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan untuk rakyat Jambi.
Ketimpangan ini memperparah konflik agraria di wilayah-wilayah itu.
Masih menurut database WALHI Jambi, jumlah konflik hak atas tanah yang terjadi akibat ketimpangan penguasaan lahan di tahun 2024 berada di tiga sektor. Yakni; pertambangan sebanyak 56 konflik, perkebunan sawit 73 konflik, dan HTI sejumlah 27 konflik.
Persoalan di seputar stockpile dan jalan khusus batu bara, menurut WALHI Jambi, adalah imbas dari “hubungan erat” antara pengusaha dan penguasa.
Padahal, pemerintah tidak seharusnya mengutamakan investasi di atas keselamatan rakyat Jambi. Seperti kasus yang terjadi pada masyarakat di Kelurahan Aur Kenali, Mendalo Darat, Mendalo Laut, dan juga, seluruh masyarakat di Provinsi Jambi yang lingkungannya telah rusak akibat industri batu bara.

Batu bara. (credits: petrotrainingasia)
Dalam konteks hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolehpelayanan kesehatan”.
Persoalan tambang batu bara dari hulu hingga hilir menjadi sangat kompleks. Rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang (MT) 1 dan 2 di Jambi juga masih belum ada kejelasan hingga saat ini, dan menunjukkan kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani isu ini.
Ketidakjelasan ini menambah keresahan masyarakat terkait potensi kerusakan lingkungan dan dampak negatif lainnya.
Realitanya, pengembangan pembangkit listrik tenaga batu bara di Sumatera tidak diperlukan. Ini mengingat jaringan listrik di wilayah Sumatera telah mengalami oversupply.
Menurut data terkini, oversupply listrik di Indonesia mencapai 6 GW, dengan cadangan daya listrik di Sumatera mencapai 24 persen per Juni 2023.
Kondisi ini terjadi karena proyeksi pertumbuhan ekonomi yang terlalu optimis dan adanya tambahan kapasitas pembangkit listrik yang melebihi peningkatan konsumsi listrik.
Lebih jauh lagi, pengembangan pembangkit listrik berbasis batu bara akan menghambat pengembangan energi terbarukan yang seharusnya menjadi prioritas publik. Padahal, pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Namun lemahnya komitmen ini tercermin dalam kebijakan yang masih mendukung pembangunan PLTU baru.
Transisi energi menuju sumber yang lebih bersih dan terbarukan menjadi terhambat karena adanya kontrak take-or-pay dengan produsen listrik swasta. Sehingga, memaksa PLN membeli listrik dari pembangkit batu bara meskipun tidak ada permintaan yang mencukupi.
Oversupply listrik ini juga menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi PLN dan negara. Karena listrik yang tidak terpakai tetap harus dibayar.
Terpenting, oversupply listrik menambah beban keuangan negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selain persoalan tambang, optimalisasi angkutan batu bara melalui Sungai Batanghari juga perlu ditanggapi dengan tegas. Karena kewenangan terkait sungai yang melintasi dua provinsi ini berada di tangan Kementerian PUPR, bukan pemerintah Provinsi Jambi.
Sehingga, bagaimana rekomendasi yang diberikan oleh Kementerian PUPR? Apakah benar-benar ada atau hanya sekedar kompromi antara penguasa dan pengusaha tambang batubara di Jambi?
Sebab, Sungai Batanghari bukanlah jalur untuk angkutan tambang batu bara.*

