Perang Lada Di Djambi
Daulat
May 25, 2023
Junus Nuh/Kota Jambi
Sebuah cincin kuno yang ditemukan di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muarojambi. (credit tittle : Junus Nuh/amira.co.id)
TIGA bangsa penjelajah dari benua Eropa yang tercatat pernah berada di Jambi adalah Belanda, Inggris dan Portugis. Mereka datang untuk mencari rempah. Rempah; seperti lada hitam (piper nigrum) Djambi, dan juga hasil-hasil hutan seperti getah jelutung dan damar.
Lada dikenal sebagai bumbu bagi masakan Eropa. Yang sesuai untuk lidah bangsa Eropa yang hidup di empat musim; yakni musim semi, panas, salju dan gugur.
Seperti Stamppot, misalnya. Menurut cookpad.com, Stamppot adalah makanan khas negeri Belanda. Yakni kentang yang ditumbuk lalu dicampur dengan sayuran dan disajikan dengan sosis. Sayuran yang biasanya digunakan adalah kale (boerenkool), selada (andijvie), atau sayuran lokal lainnya. Dan, tentu saja menggunakan lada hitam untuk memberikan cita rasa yang kuat.
Senyatanya, Belanda adalah yang paling lama bertahan di Djambi, dibandingkan Portugis dan Inggris. Catatan tentang Perang Lada hingga kini masih diingat beberapa masyarakat Kompei (Kumpe). Bahwa pernah ada loji (rumah dagang) Belanda di sana, dan juga pernah ada kebun-kebun tanaman lada hitam di sana.
Meskipun ketepatan terkait nama lokasi tentu tidak lagi sama, mengingat perubahan-perubahan nama tempat yang signifikan seiring bergantinya penguasa wilayah. Tetapi, nama lokasi yang dimaksud pada saat ini, tidaklah jauh bergeser dari nama lokasi pada masa pendudukan Belanda.
Dikutip dari Algemeen Rijksarchief te ‘s-Gravenhage, berdasarkan penuturan JWJ Wellan yang pernah berada di sana, loge (: loji) di Kompei hadir sejak tahun 1616 hingga 1724.
Menurutnya, loji ini menghadap ke Sungai Djambi, atau yang saat ini bernama Sungai Kumpe. Ini menjelaskan situasi transportasi saat itu, yakni melalui jalur sungai.
Pada tahun 1690, terjadi pembunuhan terhadap kepala gudang. Ini adalah tahapan meningkatnya perseteruan antara Belanda dengan Kesultanan Djambi.
Denah kantor loji Belanda di Muara Kumpe, yang menghadap ke Sungai Kumpe. (dok. Algemeen Rijksarchief te ‘s-Gravenhage)
Berat dugaan, bahwa penyerangan ini adalah rencana dari Pangeran Djambi, yakni Sultan Ingalaga. Meskipun bukan dengan tujuan untuk membunuh kepala gudang. Tapi, lebih kepada menyerang kantor loji.
Banyak kemungkinan terkait sebab dari penyerangan yang mengakibatkan pembunuhan ini. Tetapi, kemungkinan yang paling masuk akal adalah karena tata cara monopoli yang diterapkan Belanda dalam perdagangan lada hitam, yang dinilai merugikan Kesultanan Djambi.
Pada waktu itu, Sultan Ingalaga, adalah Pangeran Djambi yang pertama kali menggunakan gelar Sultan. Sultan Ingalaga memiliki putra sulung bernama Kiyai Gede.
Aksi penyerangan dan pembunuhan itu berefek pada ditangkapnya Sultan Ingalaga oleh Belanda. Selanjutnya, Kiyai Gede dipaksa untuk menggantikannya di singgasana kesultanan.
Sultan Kiyai Gede memiliki seorang adik bernama Pangeran Depati. Ia telah berada sangat lama di pedalaman Jambi. Berkemungkinan daerah yang dimaksud adalah suatu daerah di sekitar Muara Tebo. Sebab terkait dengan jalur perdagangan lada hitam.
Dengan menggunakan tipu daya, ( : met list naar de hoofdplaats gelokt), demikian bahasa yang digunakan pada laporan yang ditulis JWJ Wellan, membuat Pangeran Depati ditangkap Belanda dan dibawa ke Batavia, pada bulan Maret 1688. Selanjutnya, ia diasingkan ke Banda.
Namun, perseteruan terkait perdagangan lada hitam terus berlanjut, hingga menyebabkan hubungan antara Kiyai Gede dengan Belanda memanas. Akibatnya, pada tahun 1696, kantor dagang itu pun ditutup sementara.
Beberapa tahun setelah itu, hubungan kesultanan Djambi dengan Belanda kembali membaik. Maka pada tahun 1702, didirikanlah kembali kantor dagang (loji) di Muara Koempih, berikut juga benteng pasukan Belanda. Katakanlah, ini adalah sekaligus markas pasukan Belanda.
Sultan Kiyai Gede, awalnya diakui Belanda hanya sebagi Pangeran Bupati. Tapi pada 1710, ia pun mendapatkan pengakuan resmi sebagai Sultan Djambi.
Melihat campur tangan Belanda terhadap kesultanan, kedua saudara laki-laki dari Sultan Kiyai Gede, yakni Pangeran Pringabaya (Pangeran Ratu) dan Raden Culit (Kiyai Singa Patih), menentang pengangkatan Sultan Kiyai Gede yang dianggap telah membuat ayah mereka ditangkap.
Ia melarikan diri ke pedalaman. Dan dari sejak itu ia melakukan perang dengan Pangeran Bupati dan Belanda.
Lalu, dari Muara Tebo, Raden Culit (Tjoelit) memproklamirkan diri menjadi Sultan Mangunjaya, dan bergelar Sultan Sri Maharaja Batu atau Sultan Abdul Rachman.
Akibat dari peperangan ini, loji di Djambi mengalami banyak kerugian. Sehingga pada September 1690, pemerintah Hindia Belanda memutuskan kantor dagang Djambi berada di bawah manajemen kantor dagang Palembang.
Karena tidak ingin merugi, lalu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengirimkan surat kepada Pangeran Pringabaya yang berada di Muara Tëbo. Isi surat itu untuk membujuk pangeran untuk datang ke Djambi. Dengan tujuan untuk berdamai dengan Sultan Kiyai Gede, dan juga dengan tujuan agar kantor dagang Belanda tetap berjalan sesuai keinginan Belanda.
Tapi, upaya ini tidak berhasil. Akibatnya, Belanda mempenjarakan Pangeran Pringabaya pada tahun 1710. Pada tahun selanjutnya, ia dijadikan tawanan perang dan dibuang ke Banda.
Atas dasar ini ia digulingkan dari tahta, dengan bantuan Belanda. Sehingga Sultan Kiyai Gede terpilih menjadi Sultan Djambi.
Menarik untuk mengetahui manfaat lada hitam, sehingga menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa sejak lama.
Menurut doktersehat.com, terdapat 13 manfaat terkait penggunaan lada hitam. Seperti menjaga kesehatan sel tubuh, mencegah peradangan, menjaga kesehatan otak, menjaga kadar gula darah, membantu menurunkan kadar kolesterol, memiliki sifat antikanker, menjaga kesehatan pencernaan, membantu menurunkan berat badan, menjaga kesehatan kulit, mengatasi gangguan pernapasan, membantu melawan infeksi, membantu untuk berhenti merokok, membantu penyerapan senyawa lain, dan meningkatkan gairah seksual.
Lada tumbuh di tujuh daerah di Indonesia, dan satu diantaranya adalah di Jambi. Menurut limakilo.com, lada hitam menjadi komoditas perdagangan paling unggul di Jambi pada era lampau. Lada hitam bukan hanya sebagai penambah cita rasa dalam masakan, tetapi menunjukkan tingkatan status sosial para pemiliknya, yakni sebagai tauke lada hitam.
Diketahui terdapat dua jalur utama perdagangan lada hitam di Jambi, pada masa lalu. Jalur pertama adalah di huluan Sungai Batanghari. Sedangkan jalur kedua adalah dari huluan Jambi menuju Muara Tebo, lalu menuju ke Selat Malaka.
Pertanian lada hitam di Jambi terdiri dari empat golongan. Yakni milik Belanda, China, Portugis dan Minangkabau.
Menelisik kisah “perang lada” ini memberikan simpulan bahwa meskipun pusat kesultanan Djambi adalah di istana Tanah Pilih atau Kota Jambi saat ini, tetapi, adalah wajar jika Pangeran Pringabaya dan Raden Culit bergeser ke Muara Tebo.
Sebab Muara Tebo adalah termasuk satu dari dua jalur utama perdagangan lada hitam. Dengan kata lain, ia tidak ingin menggantungkan perdagangan lada hitam hanya dari monopoli ala kantor loji yang telah ditetapkan Belanda saja. Dan, strategi itu yang membuat kantor loji Belanda ditutup pada 1707.
Tetapi, ini adalah taktik dagang saja. Sebab kantor loji yang baru kembali dibangun di Muara Kompe pada tanggal 15 Juni 1708.
Dan akhirnya, dengan serangan yang mengerikan dari rakyat Djambi, demikian menurut laporan JWJ Wellan, Belanda benar-benar memberhentikan operasional kantor loji di Muara Kompe tanggal 20 Maret 1768.*