Stunting Masih Jadi Persoalan Di Jambi
Inovasi
October 5, 2025
Anggito Asmoro/Kota Jambi

Ilustrasi Stunting. (credits: UNICEF)
PEMERINTAH Provinsi Jambi tengah melakukan percepatan penurunan stunting di Provinsi Jambi. Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia, prevalensi stunting di Provinsi Jambi mengalami kenaikan, dari 13,5 persen pada tahun 2023 menjadi 17,1 persen pada tahun 2024.
“Ini adalah peringatan serius bagi kita semua, sebab Provinsi Jambi adalah provinsi ketiga se-Indonesia,” kata Gubernur Jambi, Al Haris, mengutip laman resmi Pemprov Jambi tanggal 11 Juli 2025.
Upaya penurunan prevalensi stunting di Provinsi Jambi rencananya dilakukan dengan alokasi anggaran sebesar IDR 80,541 milyar pada APBD Tahun Anggaran 2025. Intervensi ini melibatkan enam Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pelaksana. Keenam OPD melaksanakan 14 program, 16 kegiatan, dan 25 subkegiatan.
Namun, perkembangannya, telah terjadi perubahan APBD Tahun Anggaran 2025. Yakni melalui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2025 sebesar IDR 4.507.285.244.525. Rancangan ini telah disahkan oleh Pemprov Jambi dan DPRD Provinsi Jambi pekan lalu.
Perubahan ini terjadi karena penyelarasan antara APBD Provinsi Jambi dengan Dana Transfer Pusat Ke Daerah atau yang biasa dikenal dengan Dana Bagi Hasil (DBH).
Mengutip “Laporan Penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting Semester I tahun 2024” dari BKKBN Provinsi Jambi, masih terdapat dua Kabupaten/Kota yang memiliki angka diatas 15 persen. Yakni Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 23,7 persen, dan, Kabupaten Tebo 22,7 persen.

Ilustrasi porsi gizi. (credits: UNICEF)
Sedangkan Kabupaten/Kota dengan prevelansi terendah dengan capaian dibawah 5 persen, adalah; Kota Sungai Penuh sebesar 4,1 persen, dan, Kabupaten Sarolangun sebesar 4,8 persen.
Penyebab stunting adalah karena rendahnya asupan vitamin dan mineral, kurangnya keragaman pangan dan sumber protein hewani, serta faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik.
Sehingga penurunan stunting membutuhkan koordinasi yang baik antara peran masyarakat dan pemerintah melalui delapan aksi konvergensi penurunan stunting.
Yakni; Analisis Situasi, Penyusunan Rencana Kegiatan, Rembuk Stunting, Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Bupati/Walikota), Pembinaan dan Mobilisasi Kader Pembangunan Manusia (KPM), Sistem Manajemen Data, Pengukuran dan Publikasi Data, serta Reviu Kinerja Tahunan.
Stunting, mengutip UNICEF, adalah bagian dari tiga beban malnutrisi. Yakni gizi buruk (wasting dan stunting), kelebihan berat badan, dan kekurangan gizi mikro.
Adapun faktor kunci yang berkontribusi pada persoalan ini adalah pola makan dan praktek pemberian makan yang kurang memadai, serta terbatasnya akses terhadap layanan.
Dan, sangat miris untuk diketahui, bahwa kabupaten/kota dengan tingkat anak pengidap stunting yang tinggi adalah daerah penghasil sumber daya alam.
Kabupten Tanjungjabung Timur adalah daerah penghasil sektor minyak dan gas (migas), kehutanan dan perkebunan sawit. Dan Kabupaten Tebo adalah daerah penghasil mineral dan batu bara (minerba), kehutanan dan perkebunan sawit.
Sehingga, stunting, tentunya, tidak melulu adalah konsekwensi daerah saja. Melainkan juga butuh intervensi pemerintah pusat.*

