Anakku Harus Tak Seperti Aku
Hak Asasi Manusia
April 12, 2023
Zulfa Amira Zaed/Kota Jambi
Kemiskinan dan pendidikan yang tidak layak dapat menyebabkan perkawinan anak. (credit tittle : Jon Afrizal/amira.co.id)
NANI (24), bukan nama sebenarnya, menatap dengan getir anak kandungnya yang sedang bermain di hadapannya. Anak perempuan berusia 6 tahun itu sedang asik bermain di halaman rumah mereka yang terbuat dari kayu.
Tak lama lagi, anak perempuan itu akan duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sebab Nani tidak ingin anaknya bernasib seperti dirinya yang bahkan tidak menyelesaikan pendidikan di tingkat SD sekalipun. Ia bercita-cita agar anaknya bersekolah dan menjadi seorang bidan. Sebuah profesi yang sangat dibutuhkan bagi para perempuan di desa mereka.
Nani adalah satu dari 70 persen perempuan di Desa Pulau Raman Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi yang menikah di bawah umur. Menikah di usia belia ternyata menjadi awal dari pukulan episode kehidupan getir bagi Nani.
“Saya menikah karena orang tua saya tidak mampu lagi menyekolahkan saya. Pekerjaan orang tua saya tidak menentu. Kadang mencari ikan, kadang menyadap getah karet,” katanya bercerita.
Akibatnya, ia tidak bisa sekolah. Sebab butuh banyak biaya untuk bersekolah, yang harus keluar dari desa mereka.
Desa mereka tidak memiliki fasilitas pendidikan formal. Sementara untuk bersekolah, orangtua harus mengeluarkan biaya ekstra seperti transportasi, makan atau bahkan menginap jika hari hujan.
kMata pencaharian warga desa dengan penduduk sekitar 1.500 jiwa itu umumnya adalah petani karet dan buruh serabutan. Kemiskinan, terlihat jelas di sini, sebagai penyebab utama banyaknya anak yang menikah sebelum berusia 19 tahun.
Pernihakan yang diharapkan Nani akan mengentaskannya dari kemiskinan ternyata tidak membuatnya bahagia. Pernikahan yang berusia seumur jagung itu pun harus berakhir.
Meski ia hanya sekolah sampai bangku kelas 3 SD, namun Nani tetap berusaha sebaik mungkin untuk membesarkan dan mendidik anaknya dari pernikahan sebelumnya.
“Saya ingin anak saya menjadi orang yang berhasil, dan berguna bagi sesama,” katanya lagi.
Ada pula Reni (24), juga bukan nama sebenarnya, yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari pernikahan belia. Reni menikah di usia 16 tahun, usia yang belum matang secara fisik maupun psikologis untuk menikah. Sehingga pemerintah menetapkan batas usia minimal menikah adalah 18 tahun.
“Setelah menikah, saya merasa tidak bebas. Teman-teman saya masih bermain, sementara saya harus selalu berada di rumah, mengurus suami dan melakukan semua hal seperti istri pada umumnya,” kata Reni.
Bukan hanya itu, Reni bahkan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Ia ditempeleng, dipukul, bahkan ditendang. Semua itu dilakukan oleh suaminya tanpa diketahui orang lain. Sebab Reni tak ingin menceritakan sesuatu yang dianggap “aib” oleh penduduk desa mereka.
Sakit, ia rasakan, berujung pada perceraian. Meskipun usia pernikahannya hanya terhitung bulan saja.
Dari pernikahannya itu, Reni dikaruniai seorang anak perempuan yang diharapkan akan bernasib lebih baik darinya.
Kisah Nani dan Reni menambah deretan panjang dampak negatif perkawinan di bawah umur.
Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan, sebuah yayasan yang peduli dengan nasib perempuan, mengatakan bahwa pernikahan anak di Pulau Raman hingga saat ini masih terus terjadi.
“Kami tidak bisa menyimpulkan bahwa pernikahan anak itu makin bertambah atau makin berkurang, yang jelas hingga saat ini masih berlangsung. Yang kami lakukan bersama Beranda Perempuan belum menjawab akar masalah. Pemerintahlah yang mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan ini semua,” katanya, belum lama ini.
Meski berbeda dimensi antara kekerasan seksual dan perkawinan anak, namun Zubaidah tetap yakin hal itu akan memberikan kontribusi pada respon hukum bagi korban kekerasan seksual yang bukan perkawinan anak.
“Perkawinan anak yang terjadi di sana adalah cerminan dari carut marut ekonomi yang turut didukung dengan kebudayaan dan keyakinan masyarakat setempat bahwa perkawinan akan menyelesaikan permasalahan ekonomi, meski itu nyatanya tidak terbukti,” katanya.
Hal yang justru menyedihkan adalah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan anak itu sendiri.
“Dari pengamatan subyektif kami, ada yang mengalami kekukarangan gizi, itu tergambar dari keluhan mereka,” ungkapnya lagi.
Menanggapi disahkannya Undang-Undang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022, ia meminta pemerintah menyambut serius dengan sosialisasi, pembenahan SDM dan infrastruktur, serta pengadaan layanan yang lebih mumpuni.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, angka pernikahan usia anak di Jambi sampai 14,8% di atas rata-rata angka pernikahan nasional yakni 10,82%.
Menurut data dari BPS, jumlah perkawinan anak usia di bawah 19 tahun di Jambi bersifat fluktuatif. Jumlah perkawinan yang tertinggi sejak tahun 2012 hingga 2017 adalah pada tahun 2015. Angka perkawinan anak tertinggi pada tahun 2015 berbanding lurus dengan kedalaman kemiskinan di Provinsi jambi.
Fenomenan perkawinan anak maupun kekerasan seksual yang menyertainya tidak luput dari perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). Disahkannya UU TPKS menurut Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Penanggulangan Kemiskinan Kementerian PPPA, menjadi kabar gembira sekaligus harapan besar bagi perempuan dan anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dalam kasus kekerasan pada perempuan dan anak.
“Hal terpenting yang harus dilakukan adalah menyiapkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) di Indonesia. Desa tersebut harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat khususnya perempuan dan anak,” kata Titi.
Caranya, kata Titi, adalah menyiapkan. Seperti pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, menciptakan lingkungan yang mendukung proses tumbuh kembang anak yang berkualitas, melakukan upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak, menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang berkualitas, serta pemerintah perlu melakukan upaya khusus untuk menghentikan perkawinan anak.*