Kotak Wakaf Yang Kosong Dan Konflik Lahan Di Kumpe
Hak Asasi Manusia
March 30, 2024
Jon Afrizal/Kumpe Ulu
Kotak wakaf untuk pendidikan anak-anak di Desa Sumber Jaya. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
SORE ini aku kembali menjejakkan kaki di Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpe Ulu Kabupaten Muarojambi. Suasana Ramadhan kali ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang biasanya meriah.
Bahusni, ketua Serikat Tani Kumpe (STK) telah menyerahkan diri dan ditahan di Lapas Kelas II A Jambi awal bulan Maret 2024 lalu. Bahusni, sebelumnya, telah didakwa pasal 107 huruf a Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta, pasal 107 huruf d Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sekretariat STK tetap terbuka untuk anggotanya. Meskipun aktifitasnya tidak seramai sebelumnya.
Sepasang mataku tertuju kepada sebuah kotak wakaf. Sebelumnya, kotak wakaf untuk Madrasah Diniyah Nuruttholibin itu selalu terisi penuh. Kini, hanya berisi uang recehan saja.
Pada wawancara di bulan Juni 2023, Bahusni, ketua STK Sumber Jaya mengatakan serikat mengeluarkan uang untuk biaya operasional Madrasah Diniyah Nuruttholibin di Desa Sumber Jaya berkisar antara IDR 5 juta hingga IDR 8 juta per bulan.
“Kami memiliki areal yang dipanen hanya untuk kepentingan kolektif,” katanya, waktu itu.
Selain itu, setiap anggota pun dengan sukarela menyisihkan penghasilan mereka dengan cara mengisi kotak wakaf, setiap mereka datang ke sekretariat. Tujuannya, uang yang terkumpul digunakan untuk pendidikan anak-anak mereka yang bersekolah di Madrasah Diniyah Nuruttolibin Desa Sumber Jaya.
Kepala Diniyah Nuruttholibin, Hermansyah, mengatakan pihak sekolah merasa terbantu dengan pola kolektif STK ini. Sebab, selama ini, seperti banyak sekolah di pedesaan di Provinsi Jambi, Madrasah Diniyah Nuruttolibin kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Sebelum ini, kami menerapkan sistem SPP bagi siswa. Tapi, dengan sistem itu, justru jumlah murid terus berkurang, hanya 75 orang,” katanya.
Tapi, sejak tahun 2023 ini, STK pun gencar memberikan biaya operasional untuk sekolah. Sehingga, pihak sekolah pun menyatakan “Sekolah Gratis” kepada murid-muridnya. Jumlah murid meningkat menjadi 103 orang.
Bangunan sekolah yang berbetuk huruf L ini hanya memiliki beberapa ruang kelas. Dengan delapan orang guru dan satu kepada sekolah, mereka menyelenggarakan pendidikan untuk siswa kelas 1 hingga kelas 6, dari pukul 07.00 WIB sampai 17.00 WIB.
Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh (STK) pada sebuah sidang di PN Sengeti. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
Melalui pola ini, setiap guru dan kepala sekolah juga mendapatkan gaji secara teratur setiap bulannya. Yakni sebesar IDR 200 ribu per orang per bulan. Para guru dan kepala sekolah adalah penduduk di desa itu.
“Bersekolah artinya memperbaiki masa depan. Sebab kami tidak ingin anak-anak kami hidup dengan masa depan yang tidak tentu arah dan tujuannya,” kata Yuk Ning, warga Desa Sumber Jaya.
Kotak wakaf yang kosong itu, adalah refleksi suramnya masa depan anak-anak mereka. Anak-anak di wilayah konflik agraria.
Kesuraman yang sama dengan sunyinya Ramadhan pada tahun ini. Baju baru, bagi anak-anak ketika Lebaran tiba, adalah sesuatu yang absurd, kini.
Meskipun para perempuan desa, yang juga adalah anggota STK, cukup tegar dan tetap tabah melakoni perjuangan mereka. Sebab, perjuangan butuh nafas yang panjang. Sama seperti tegarnya isteri Bahusni, Mala, yang harus menghidupi anaknya yang masih di bangku SD, seorang diri, sementara Bahusni mendekam di penjara.
Kepengurusan organisasi tentu harus tetap berjalan. Dan, Bahusni bin Hamzah adalah tetap pahlawan bagi mereka. Pengobar semangat para petani yang berjuang untuk mendapatkan lahannya kembali.
Bahusni yang harus dipenjara selama delapan bulan. Karena menuntut hak masyarakatnya dikembalikan oleh PT Pematang Fajar Indah Lestari (FPIL).
“Ketika lahan hanya dikuasai oleh segelintir orang, maka akan menimbulkan kesenjangan sosial,” kata Fransdoddy Taruma Negara, koordiantor Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi.
Maka, konflik agraria yang telah lebih dari 20 tahun mereka rasakan, mencapai klimaks ketika terjadi musyawarah masyarakat bersama Pemerintah Desa Sumber Jaya pada tanggal 4 Oktober 2021. Keputusan musyawarah sewaktu itu, adalah untuk me-reclaim areal seluas 322 hektare di desa mereka yang kini diakui sebagai HGU oleh PT FPIL.
Benar dan salah seperti lamur.
Warga desa, kata Misardi, anggota STK, berjuang untuk merebut tanah milik desa yang telah diubah, dengan berbagai cara, menjadi lahan milik perusahaan.
“Jika perusahaan ingin mencabut pohon-pohon sawit ini, cabut saja. Dan bawa pohon-pohon sawit ini ke negeri tempat para investor,” katanya.
Tekanan, adalah hal lumrah yang dihadapi para pejuang agraria. Pada Rabu (1/2) tahun 2023 lalu, misalnya. Kelompok mereka disatroni preman. Satu anggota kelompok petani terluka, dan beberapa unit sepeda motor rusak. Persoalan ini telah dilaporkan ke pihak berwajib. Dan hingga kini belum mereka dapatkan jawabannya.
Pos yang dibuat STK, yang menjadi batas antara areal reclaiming dan lahan perkebunan sawit PT FPIL, hingga saat ini masih diisi oleh anggota yang bertugas piket. Sementara di lahan yang di-reclaiming, hampir tidak ada aktifitas sama sekali.
Hanya jangkrik, kodok, nyamuk, ular sanca dan burung hantu yang saling sibuk memangsa, di sana.
Pada persidangan di PN Sengeti terkait Bahusni yang dilaporkan oleh PT FPIL karena pencurian tandan buah segar (TBS) sawit, Amira sempat meminta waktu untuk wawancara secara doorstep kepada Direktur PT FPIL, William Ang, sesaat setelah ia keluar dari ruang sidang Cakra, pada Rabu (26/7) tahun 2023 lalu.
Sewaktu itu, William Ang terlihat bingung dan ragu. Ia berhenti sejenak di tempat. Tetapi, seseorang di sekitarnya mengatakan, “Jangan di-photo. Keberatan.”
Mereka membawa William Ang pergi, dan, tidak ada lagi sesi wawancara yang terjadi. Tetapi, Amira telah memberikan hak kepada William Ang, yang tentunya mewakili pihak PT FPIL untuk berbicara. Jika pun ia tidak menggunakan hak itu, maka, secara jurnalistik, hak itu telah diberikan.
Namun, tuduhan pencurian buah sawit, telah merendahkan harga diri warga Desa Sumber Jaya. Sebab, mereka bukanlah pencuri. Dan bagaimana mungkin, secara nalar, mencuri di lahan sendiri. Tentu butuh definisi baru untuk kalimat ini.
Desa Sumber Jaya memiliki batas yang jelas, ketika tiga dusun disatukan menjadi satu, dan dibentuk menjadi desa dengan nama Desa Sumber Jaya pada tahun 1990 lalu. Tapal batas antar tiga dusun ini, yang menjadi rujukan penetapan batas desa, yang ditentukan dengan tanda-tanda alam. Sama seperti penetapan batas yang merujuk pada istiadat Melayu Jambi, dan digunakan di banyak tempat di Provinsi Jambi.
Pada bagian timur tanda-tandanya adalah Buluran Pauh – Lopak Besak – Teras Beko. Lalu, Buluran Lopak Bujuk – Buluran Bubur Tetumpah. Selanjutnya, Buluran Aek Hidup – Pematang Cengal – Buluran Melintang.
Sedangkan pada bagian barat, yakni perbatasan Desa Sumber Jaya – Tarikan, tanda-tandanya adalah Tembesi Rampak (tepatnya di Kebun Rasid) – Simpur Serumpun – Buluran Rembio – Lopak Rano-rano – Buluran Melintang.
Ingatan kolektif ini, menurut tokoh masyarakat Desa Sumber Jaya, Rasidi, yang juga menjadi dasar pendudukan lahan seluas 322 hektare itu. Sebab, sebagai sebuah kesatuan tata ruang desa, areal itu tidak pernah diperjualbelikan warga kepada pihak manapun.
“Jika pun pada masa lalu ada pihak yang memperjualbelikan kawasan ini, tetapi, secara umum, kami– warga desa tidak pernah diajak berunding,” katanya.
Warga Desa Sumber Jaya sedang melakukan aksi damai pada sidang Bahusni di PN Sengeti, akhir tahun 2023. (photo credits : Jon Afrizal/amira.co.id)
Menurut kemenkeu.go.id, berdasarkan pasal 5 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, hukum tanah nasional adalah hukum adat. Sehingga pelaksanaan jual beli tanah nasional pun menganut sistem jual beli tanah sesuai hukum adat. Dan juga menerapkan asas tunai dan terang.
Ketika Amira men-searching PT FPIL di internet, yang tampil adalah PT Fajar Pematang Indah Lestari dengan locus di Kabupaten Tebo, dengan SK Menkumham nomor AHU-00210803.AH.01.01 tahun 2020. Sementara yang ber-locus di Kabupaten Muarojambi tidak ditemukan.
Begitu pula ketika Amira mencocokkan beberapa nomor HGU yang tertera di banyak plakat dan baliho di lokasi kebun PT FPIL Desa Sumber Jaya, ternyata tidak ditemukan di aplikasi Sentuh Tanahku milik Kementrian ATR/BPN. Seperti, HGU nomor 00166, yang tertancap di areal yang kerap dinyatakan adalah HGU PT FPIL tepat di seberang pos STK. Ternyata, nomor itu tidak terdata di aplikasi Sentuh Tanahku.
Selain itu, telah pula keluar surat dari direktorat jendral penetapan hak dan pendaftaran tanah Kementrian ATR/BPN nomor HT.01/681-400.19/V/2023 tertanggal 19 Mei 2023 yang menyatakan tentang permohonan penghentian perpanjangan dan pencabutan izin HGU PT FPIL di Kabupaten Muarojambi.
Sehingga, juga butuh definisi baru untuk kalimat : berkebun secara luas tanpa memiliki Hak Guna Usaha (HGU) yang terdata di aplikasi android “Sentuh Tanahku” keluaran Kementrian ATR/BPN.
Menurut SK BPN RI nomor 13-VI-1997 tangal 23 Januari 1997 tentang bagian tanah objek land reform, maka areal di Desa Sumber Jaya tidak seharusnya berkonflik lagi. Artinya, Bahusni, dan seluruh masyarakat Desa Sumber Jaya bukanlah pencuri.
Pada persidangan Bahusni, Rabu (13/9) tahun 2023, terungkap bahwa secara legal standing, PT FPIL memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) pada tahun 2016. Tetapi, kenyataannya, usia tanaman sawit perusahaan itu pada saat ini adalah 15 tahun. Padahal, menurut Putusan MK nomor 138/PUU/XIII/2015, perusahaan wajib memiliki IUP dan hak guna usaha (HGU).
Abun Yani, anggota DPRD Provinsi Jambi dari Partai Gerindra, mengatakan, sebelumnya PT Purnama Tausar Putra (PTP) hadir di Desa Sumber Jaya sekitar tahun 1997. Lahan yang digarap perusahaan itu adalah hutan tempat masyarakat mencari penghidupan.
Ia mengatakan masyarakat pun tidak diberitahu tentang izin perusahaan untuk berkegiatan di sana. Sehingga, puncaknya, camp logging milik perusahaan dibakar oleh masyarakat pada tahun 1998.
Selanjutnya, kata Abun Yani yang pernah menjadi saksi di persidangan Bahusni pada Rabu (27/9) tahun 2023 lalu, ketika objek lahan dialihkan atau apapunlah istilahnya, kepada PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL), masyarakat pun tidak diberitahu.
Menurut Catatan Akhir Tahun 2023 KPA, terdata sebanyak 241 letusan konflik agraria di sepanjang tahun 2023, atau meningkat 12 persen dibanding tahun 2022 lalu yang berjumlah 212 letusan konflik.
Letusan konflik pada tahun 2023 ini terjadi di atas tanah seluas 638.188 hektare. Konflik agraria ini tersebar di 346 desa dengan korban terdampak sebanyak 135.608 Kepala Keluarga (KK).
Melalui hitung-hitungan sederhana, jika rata-rata terdapat empat jiwa dalam satu keluarga, maka setengah juta orang di Indonesia telah menjadi korban dari letusan konflik agraria pada tahun 2023.
Sebanyak 108 letusan konflik diakibatkan oleh perusahaan perkebunan, 44 letusan konflik di sektor properti, 32 letusan konflik di sektor pertambangan, 17 letusan di sektor kehutanan, dan, di sektor pesisir-pulau-pulau kecil dan fasilitas militer masing-masing lima letusan konflik.
Pengulangan letusan konflik yang terjadi di sektor-sektor ini pada setiap tahunnya, menandakan tidak ada perubahan yang signifikan dari pemerintah dalam memperbaiki model dan pendekatan pembangunan di Indonesia.
Sebaran konflik agraria di tahun 2023 ini terjadi di 33 provinsi. Dimana Provinsi Jambi berada di posisi keempat dari 10 provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi.
Secara berurutan, sebanyak 10 provinsi itu, adalah; Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Timur.
Telah terjadi 15 letusan konflik di Provinsi Jambi, dengan luasan areal berjumlah 22.433 hektare, dengan 6.061 korban terdampak di 20 desa. Dimana Desa Sumber Jaya termasuk didalamnya.
Letusan konflik ini masih didominasi sektor perkebunan sawit dengan total kejadian sebanyak 13 kali dengan luas mencapai 22.428 hektare dan korban terdampak sebanyak 6.053 kepala keluarga.
Sepanjang tahun 2023, menurut catatan KPA, sebanyak 608 orang (578 laki-laki dan 30 perempuan) di Indonesia menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi. Jika dirata-rata, maka dua orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat penanganan yang represif di wilayah konflik agraria setiap hari.
Memang, batas antara benar dan salah terkadang kabur.
Tetapi, kebenaran adalah hakiki. Sekuat apapun kebenaran ditutup-tutupi, pada suatu saat pasti akan terkuak.*