Pendampingan Kelompok Perempuan Untuk Petani Pejuang Ketahanan Pangan

Hak Asasi Manusia, Lingkungan & Krisis Iklim

March 20, 2023

Novita Sari

Para petani perempuan di Pulau Raman, Jambi. (credit title: Novita Sari/amira.co.id)

DALAM deklarasi universal hak asasi manusia, semua manusia dikatakan lahir dalam kondisi bebas dan sama. Hal ini juga merujuk pada kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek baik politik, ekonomi, sipil, dan sosial budaya. Meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) tahun 1984, akan tetapi cita-cita kesetaraan gender di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.


Dilihat dari aspek lingkungan, keterlibatan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok sosial dalam sejarah telah bekerjasama sebagai peramu, pengumpul, pengelola, pengolah, maupun pemanfaat. Dalam konteks yang lebih luas, di Indonesia wacana gender dan lingkungan dapat ditandai dengan keterlibatan aktivis perempuan dalam aksi perlawanan terhadap rencana pembangunan Kedung Ombo di Jawa tengah, disusul dengan perlawanan perempuan soal hak atas tanah di Sumatera Utara, Nai Sinta, yang berhadapan dengan PT. Indorayon Utama (Siscawati, 2015).


Sudah sejak lama, perempuan dalam berbagai latar belakang memainkan peran penting dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam. Akan tetapi hal ini tidak didukung oleh kontrol atas tanah dan SDA yang ditandai dengan minimnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini memungkinkan adanya berbagai upaya dalam hal penyadaran perempuan akan haknya, serta upaya konstruktif pelibatan perempuan.

Anak muda dan perubahan
Sejarah Indonesia merupakan sejarah anak muda. Ada banyak cerita sejarah yang radikal sekaligus heroik dalam mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan terus mengalami perkembangan. Anak muda juga dikenal aksi nyata yang kreatif dan inovatif, tidak heran jika kelompok golongan ini merupakan harapan terbesar perubahan ke arah yang lebih baik.


Jumlah anak muda indonesia diperkirakan akan mencapai titik keemasan pada tahun 2030-2040 dalam wacana bonus demografi. Tidak perlu menunggu untuk sampai di tahun tersebut, anak muda nyatanya telah banyak kita lihat menorehkan prestasi di berbagai hingga melakukan aksi sosial yang berdampak. Di dunia digital banyak kita lihat aksi kampanye sosial yang mereka lakukan dengan unik dan menggerakkan banyak orang.


Pada dasarnya, kita memerlukan banyak orang untuk melakukan perubahan terutama hal-hal yang bersifat sosial kemanusiaan yang berdampak besar bagi kehidupan umat manusia. Salah satu bentuk dari aksi nyata ini adalah dalam isu lingkungan yang sangat dekat dengan kita. Banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari perubahan gaya hidup (behavior change), melakukan pendampingan, advokasi dan kampanye perubahan regulasi yang menjamin kelangsungan akses lingkungan hidup yang bersih hingga upaya lain yang dapat menyadarkan orang banyak tentang ancaman nyata krisis iklim itu sendiri.

Upaya pendampingan kelompok petani perempuan di Pulau Raman
Menjadi seorang pendamping petani perempuan desa Pulau Raman Kec. Pemayung Kab.Batanghari Provinsi Jambi merupakan wujud konkret yang saya lakukan dalam mengimplementasikan prinsip keadilan lingkungan, mengingat saya adalah kelompok anak muda dan memiliki ketertarikan di dunia aktivis perempuan. Melalui organisasi perempuan yang juga menghubungkan antara perempuan dan lingkungan (beranda perempuan) saya mendampingi kelompok petani perempuan yang dibentuk secara swadaya.


Kami melakukan serangkaian edukasi kelompok perempuan tentang pentingnya berorganisasi dan memperkuat basis pertanian non pestisida yang berkelanjutan, bahaya pembuangan sampah ke sungai hingga permasalahan reproduksi dengan mendorong para perempuan mengganti pembalut sekali pakai dengan pembalut kain yang lebih ramah lingkungan. Kondisi ini, sejak 2 tahun lalu mendampingi, nyatanya menyadarkan saya tentang betapa pentingnya keikutsertaan perempuan secara khusus dan masyarakat pada umumnya dalam aspek pengelolaan lahan, produksi, panen, dan pasca panen hingga permasalahan sosial dan ketubuhan perempuan.


Sebagai petani, para perempuan mengerjakan proses pertanian dari pra-hingga pasca panen, ditambah beban domestik dan pengasuhan anak. Kondisi ini dalam konsep ketidakadilan gender disebut sebagai beban ganda (double burden). Para perempuan memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi. Namun sayangnya, dalam pengambilan keputusan di tingkat desa belum memberikan ruang pada perempuan. Sehingga berbagai kebijakan masih bersifat patriarkal. Tidak sampai disana, perubahan iklim nyatanya juga menjadi faktor yang menghambat pengerjaan produksi oleh petani.

Panganan yang ditanam para petani ini berupa padi, kacang tanah, jagung, cabai, dan sejumlah jenis panganan lainnya yang kini tidak memiliki jangka waktu yang sama setiap tahunnya.


Temuan dilapangan, juga menunjukkan berbagai permasalahan lain yang ikut memperparah kondisi kemiskinan masyarakat desa meskipun mereka sudah bekerja dalam waktu yang panjang. Fakta perkawinan anak sebagai langkah orang tua membebaskan anak dari kemiskinan ternyata melahirkan masalah baru dan membuat mata rantai permasalahan yang ada tidak pernah terputus. Jika digambarkan secara sederhana krisis iklim yang membuat petani gagal panen, menjadi salah satu penyebab kemiskinan karena sejumlah modal yang digunakan untuk pertanian menjadi rugi, berefek pada sektor lain (pendidikan dan kesehatan) yang membuat para perempuan dan keluarganya mengesampingkan kesehatan reproduksi juga memunculkan fenomena terjadinya perkawinan anak, dan terus menerus berputar semacam lingkaran setan. Sehingga para masyarakat disana sulit untuk mensejahterakan dirinya. Faktor lain akibat jauhnya akses pendidikan, karena terpisah oleh sungai juga menambah daftar panjang rumitnya permasalahan yang ada.


Akan tetapi, selama proses pendampingan ada sedikit harapan masyarakat di desa Pulau Raman untuk berbenah diri. Para perempuan yang tergabung dalam kelompok perempuan petani desa menyadari pentingnya berorganisasi, menyampaikan aspirasi dengan terbuka, serta sadar akan bahaya penggunaan pestisida jangka panjang untuk tanaman mereka. Memang, belum dapat dikatakan berhasil akan tetapi kami percaya perubahan besar itu datang dari perubahan kecil yang terus-menerus dilakukan.*

Artikel ini pertama kali terbit di oerban.com

avatar

Redaksi