Obral Carbon Di COP 30

Lingkungan & Krisis Iklim

November 16, 2025

Zachary Jonah

Ilustrasi Carbon Trade di COP30, Belem, Brazil. (credits: Satya Bumi)

“COP30 bukan hanya ruang untuk diplomasi, tetapi harus menjadi titik balik untuk memastikan dan mengawal terwujudnya keadilan ekologis, keadilan gender, dan masa depan ruang hidup rakyat Jambi.” Oscar Anugrah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi

PEMERINTAH Indonesia resmi membuka paviliun Indonesia di COP30 di Belem, Brasil pada Senin (10/11). Namun pembukaan ini layaknya pembukaan pasar dagang bagi hutan dan sumber daya Indonesia lainnya.

Proposal utama pemerintah adalah potensi kredit karbon sebesar 90 miliar ton, potensi dekarbonisasi, dan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang diklaim dapat mencapai komitmen iklim Indonesia. Perdagangan karbon dan dekarbonisasi yang dijadikan pemerintah Indonesia sebagai solusi iklim merupakan solusi sesat yang selama ini ditolak oleh berbagai masyarakat sipil, termasuk WALHI.

Perdagangan karbon, menurut WALHI, hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebab, roh utama dari perdagangan karbon adalah “penyeimbangan” atau “offset”. Dimana, satu korporasi atau negara-negara Annex I masih tetap boleh melepaskan emisi dari aktivitas ekstraksi dan industrialisasi. Bahkan melampaui batasan emisi (cap) asalkan melakukan penyeimbangan karbon dengan cara membeli karbon di pasar karbon.

Carbon trading dan offset ini dipandang sebagai solusi yang cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah. Sebab banyak proyek penggantian kerugian karbon yang berjalan dengan klaim yang meragukan,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, mengutip rilis WALHI tertanggal 12 November 2025.

Bahkan, katanya, adalah salah dengan menggantinya dengan narasi sekedar permasalahan teknis penyeimbang carbon (nett zero atau carbon neutral) di atmosfer adalah kebohongan yang berbahaya bagi masa depan planet bumi.

Aksi Damai Walhi Jambi mengkritisi COP30, di Tugu Keris, Kota Jambi, Sabtu (15/11). (credits: Walhi Jambi)

Project karbon, seperti halnya REDD dan REDD+ telah merampas wilayah adat dan wilayah kelola. Hal yang sama juga dengan proyek dekarbonisasi.

Sebab sebanyak 90 persen dari seluruh upaya dekarbonisasi akan memerlukan pemanfaatan energi terbarukan melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi yang berkelanjutan.

Project gas dan LNG yang ada saat ini telah membawa dampak ekologis yang sangat besar. Perluasan LNG telah eksisting saat ini dan yang direncanakan di masa mendatang, justru akan meningkatkan emisi pada tingkat yang berbahaya,” kata Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Hasil penelitian juga menunjukkan penggunaan gas fosil untuk pembangkit listrik, pemanas pada gedung, dan industri memberikan kontribusi kematian dini yang hampir sama dengan penggunaan batu bara di 96 kota di seluruh dunia pada tahun 2020.  

Komponen terbesar dari gas fosil adalah metana, gas rumah kaca terkuat kedua setelah karbon dioksida dalam hal seberapa besar kontribusinya terhadap pemanasan global.

Klaim komitmen di SNDC Indonesia, katanya, juga sudah dapat dipastikan gagal sejak disusun. Tidak hanya tidak partisipatif, SNDC disusun dengan masih mengedepankan skema ekstraktif.

Oscar Anugrah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi mengatakan, di tengah klaim transisi energi, Provinsi Jambi justru terus dibebani dan dipaksakan untuk beberapa proyek. Seperti; Desa Aur Kenali dan Mendalo Darat, yang terdampak pembangunan dan operasi stockpile batu bara di tengah permukiman padat, memicu debu batubara dan mengancam kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan hidup rakyat.

Juga Desa Kemingking Dalam Kabupaten Muaro Jambi, sebagaikawasan stockpile berdiri di dekat Cagar Budaya Nasional Candi Muaro Jambi, dan mengancam keberlangsungan ekologis dan nilai budaya masyarakat. Lalu, Desa Semaran Kabupaten Sarolangun, yangberada di lingkar dampak PLTU yang menimbulkan pencemaran udara dan berbagai gangguan kesehatan bagi rakyat.

“Realitas yang terjadi saat ini memperlihatkan bahwa komitmen iklim Indonesia masih jauh dari memutus ketergantungan pada energi kotor. Kebijakan yang dikeluarkan justru membuka jalan bagi ekspansi industri ekstraktif yang merugikan, khususnya rakyat di Provinsi Jambi,” kata Oscar Anugrah.

Berdasarkan analisis WALHI, terdapat 26 juta hektare hutan alam yang berada di konsesi-konsesi HGU, IUP dan PBPH. Kebijakan hilirisasi nikel, dan swasembada pangan dan energi juga akan menjadi pendorong besar pembukaan hutan yang berada dalam konsesi tersebut.

Bahkan juga hutan yang saat ini belum dibebani oleh izin. Seluas 15 juta hektare hutan yang menjadi bagian Proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi misalnya, akan diambil dari kawasan hutan yang saat ini belum dibebani izin.

“Selama orientasi ekonomi nasional dan global masih mengejar pertumbuhan ekonomi, maka, aksi dan adaptasi iklim Indonesia dan negara-negara lainnya akan tetap gagal menjawab target iklim,” kata Boy Jerry Even Sembiring.*

avatar

Redaksi